Mohon tunggu...
Ditta Atmawijaya
Ditta Atmawijaya Mohon Tunggu... Editor

Aku suka menulis apa saja yang singgah di kepala: fiksi, humaniora, sampai lyfe writing. Kadang renyah, kadang reflektif, dan selalu kuselipkan warna. Seperti hidup: tak satu rasa, tetapi selalu ada makna.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Surat Kabar di Meja Makan Kami: Cerita Kecil dari Kompas yang Besar

26 Juni 2025   13:02 Diperbarui: 26 Juni 2025   18:15 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Mart Production (Pexels)

Di layar ponselku, sebuah iklan berkelebat: Kompas, genap 60 tahun. Angka itu bukan sekadar deret waktu bagi sebuah media, melainkan denyut kenangan bagi kami yang tumbuh bersama halamannya.

Kenangan pun melintas, seperti salindia yang berputar pelan ....

Di atas meja makan rumah kami, Kompas selalu hadir tiap pagi. Aku tak selalu ingat siapa yang membawanya masuk, tetapi dalam kenanganku, langkah kaki Bapak pulang dari masjid seolah bersamaan dengan kehadiran surat kabar itu.

Kompas tidak hanya menjadi koran yang menyajikan berita, tetapi juga aroma pagi yang akrab. Ia menyatu dengan denting sendok dan piring, alunan radio, wangi kopi Bapak, juga suara khas dari gerakan koran yang sedang dibaca. Di situlah, aku mengenal dunia, lewat baris-baris berita, kolom opini, dan kotak-kotak kecil Teka-Teki Silang yang sering kami isi bersama.

Kompas sendiri pertama kali terbit pada 28 Juni 1965— lahir di tengah gejolak zaman, tumbuh dalam semangat mencerdaskan bangsa. Nama "Kompas" diberikan langsung oleh Presiden Soekarno. Beliau menolak pemberian nama Bentara Rakyat, dan berkata, "Aku akan memberi nama yang lebih bagus ... Kompas. Tahu, toh, apa itu kompas? Pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan dan rimba!" (Kompas, Redesain 2018).

Dari halaman-halaman koran itulah aku mulai mengenal realitas dunia di luar pagar rumah kami.

Salah satu kenangan terkuatku adalah tentang tugas kliping. Ya, kliping— aktivitas menggunting artikel dari koran, lalu menempelkannya di kertas folio. Untuk kami, anak-anak sekolah saat itu, Kompas adalah tambang informasi. Tidak hanya karena lengkap dan terpercaya, tetapi karena hadir setiap hari di rumah.

Saat teman-teman masih bingung mencari artikel, aku sudah menggunting sambil menyeruput teh hangat buatan Ibu. Kadang Bapak ikut membantu, memilih berita yang "lebih berbobot", katanya— meski aku waktu itu belum benar-benar tahu maksudnya.

Dahulu belum ada internet sebagai rak informasi yang bisa dijangkau kapan saja. Jadi, kliping menjadi cara paling konkret untuk menyimpan informasi penting. Kadang topiknya sejarah, kadang sains, kadang peristiwa aktual. Kliping bukan hanya alat dokumentasi, melainkan satu bentuk pelestarian. Hanya dengan cara ini, berita bisa dibaca berulang.

Proses membuat kliping pun mengandung unsur kreativitas. Kami tidak asal menempel, tetapi menyusun tata letak, memberi judul yang menarik, sumber, dan tanggal terbitnya, bahkan menambahkan gambar dari halaman lain agar tampilannya lebih indah dan enak dibaca— seolah arsitek cilik yang lincah bermain dengan imajinasinya. Kliping menjadi aktivitas belajar yang menyenangkan---dan Kompas menyediakan semua bahan dasarnya setiap pagi, tanpa henti.

Yang paling kutunggu adalah edisi Minggu. Di dalamnya ada cerpen yang terasa seperti oase. Tulisan yang tidak sekadar mencerahkan, tetapi juga menyentuh jiwa. Kini, ketika mengingatnya, aku tersenyum. Mungkin itulah benih cinta pertamaku pada dunia kata, yang tumbuh diam-diam di antara halaman sastra Kompas Minggu.

Beberapa kali aku hampir mengirim cerpen ke sana, tetapi rasa percaya diri belum cukup. Rasanya Kompas begitu tak terjangkau dan aku hanya berani bermimpi dari kejauhan. Bagiku, Kompas seperti rumah bagi tulisan— yang terasa tinggi, tetapi juga sangat menginspirasi.

Waktu berjalan. Kini, meski belum juga kutitipkan cerpen ke redaksi Kompas Minggu, aku menulis berbagai artikel di Kompasiana— rumah yang dibuka Kompas untuk kami, para pembaca yang ingin ikut bersuara. Mungkin mimpi itu tak pernah padam. Ia hanya memilih jalannya sendiri: lebih dekat, lebih hangat, dan tetap setia pada kata.

Bagian lain yang kusuka, tentu saja, Teka-Teki Silang. Kami pun berebut siapa cepat siapa tepat mengisi kotak-kotak itu. Terkadang kami bisa mengisinya penuh dengan benar, tetapi tak jarang juga ada beberapa kotak yang kosong. Jika sudah begitu, kami harus menanti edisi minggu berikutnya— karena kunci jawaban tak dimuat di hari yang sama. Penantian itu kadang bikin gemas, tetapi juga membangkitkan rasa ingin tahu. Ada sensasi penasaran yang tak tergantikan.

Buku TTS Pilihan Kompas sendiri baru terbit jauh setelah Bapak meninggal. Seandainya sudah ada saat itu, aku yakin kami akan tetap mengisinya bersama. Kini, buku-buku itu kujaga sebagai koleksi pribadi. Bukan hanya karena aku menyukai TTS, tetapi karena setiap halamannya mengantarku pulang sejenak ke masa kecil.

Belakangan aku tahu, seri TTS Pilihan Kompas sudah mencapai jilid ke-24, bahkan berkembang menjadi berbagai kategori seperti TTS Ringan, TTS Sulit, TTS Anak, TTS Otak-Atik Angka, hingga Sudoku dan Cari Kata. Ini bukti bahwa Kompas tak hanya bertahan, tetapi terus berkembang mengikuti zaman, tanpa kehilangan semangat awal: menyemai kecerdasan lewat kesenangan yang sederhana.

Justru dalam kesetiaan itulah ia menjadi istimewa. Terus beradaptasi tanpa kehilangan arah. Tak sekadar memberi kabar, tetapi membentuk cara pikir, mengajarkan cara bersikap. Ia menjadi ruang belajar yang luas, bahkan bagi anak yang saat itu hanya mengenal satu-satunya media: lembaran berita yang menyatu dengan pagi dan aroma rumah.

Kini, di usia ke-60, Kompas tetap tegak dengan nilai-nilai yang diwariskan oleh Pak Jakob Oetama: mengedepankan jurnalisme yang berkualitas, tidak berpihak pada satu sisi, dan terus berkontribusi positif bagi masyarakat dan bangsa. Kompas tidak sekadar memberi informasi, tetapi memperjuangkan kebenaran dalam diam yang berintegritas.

Terima kasih, Kompas, karena telah hadir bukan hanya di meja makan kami, tetapi juga di perjalanan hidup kami. Enam puluh tahun bukan waktu yang pendek, tetapi kehadiranmu tak pernah terasa usang ... karena kebenaran dan kejujuran memang tidak pernah kedaluwarsa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun