Beberapa kali aku hampir mengirim cerpen ke sana, tetapi rasa percaya diri belum cukup. Rasanya Kompas begitu tak terjangkau dan aku hanya berani bermimpi dari kejauhan. Bagiku, Kompas seperti rumah bagi tulisan— yang terasa tinggi, tetapi juga sangat menginspirasi.
Waktu berjalan. Kini, meski belum juga kutitipkan cerpen ke redaksi Kompas Minggu, aku menulis berbagai artikel di Kompasiana— rumah yang dibuka Kompas untuk kami, para pembaca yang ingin ikut bersuara. Mungkin mimpi itu tak pernah padam. Ia hanya memilih jalannya sendiri: lebih dekat, lebih hangat, dan tetap setia pada kata.
Bagian lain yang kusuka, tentu saja, Teka-Teki Silang. Kami pun berebut siapa cepat siapa tepat mengisi kotak-kotak itu. Terkadang kami bisa mengisinya penuh dengan benar, tetapi tak jarang juga ada beberapa kotak yang kosong. Jika sudah begitu, kami harus menanti edisi minggu berikutnya— karena kunci jawaban tak dimuat di hari yang sama. Penantian itu kadang bikin gemas, tetapi juga membangkitkan rasa ingin tahu. Ada sensasi penasaran yang tak tergantikan.
Buku TTS Pilihan Kompas sendiri baru terbit jauh setelah Bapak meninggal. Seandainya sudah ada saat itu, aku yakin kami akan tetap mengisinya bersama. Kini, buku-buku itu kujaga sebagai koleksi pribadi. Bukan hanya karena aku menyukai TTS, tetapi karena setiap halamannya mengantarku pulang sejenak ke masa kecil.
Belakangan aku tahu, seri TTS Pilihan Kompas sudah mencapai jilid ke-24, bahkan berkembang menjadi berbagai kategori seperti TTS Ringan, TTS Sulit, TTS Anak, TTS Otak-Atik Angka, hingga Sudoku dan Cari Kata. Ini bukti bahwa Kompas tak hanya bertahan, tetapi terus berkembang mengikuti zaman, tanpa kehilangan semangat awal: menyemai kecerdasan lewat kesenangan yang sederhana.
Justru dalam kesetiaan itulah ia menjadi istimewa. Terus beradaptasi tanpa kehilangan arah. Tak sekadar memberi kabar, tetapi membentuk cara pikir, mengajarkan cara bersikap. Ia menjadi ruang belajar yang luas, bahkan bagi anak yang saat itu hanya mengenal satu-satunya media: lembaran berita yang menyatu dengan pagi dan aroma rumah.
Kini, di usia ke-60, Kompas tetap tegak dengan nilai-nilai yang diwariskan oleh Pak Jakob Oetama: mengedepankan jurnalisme yang berkualitas, tidak berpihak pada satu sisi, dan terus berkontribusi positif bagi masyarakat dan bangsa. Kompas tidak sekadar memberi informasi, tetapi memperjuangkan kebenaran dalam diam yang berintegritas.
Terima kasih, Kompas, karena telah hadir bukan hanya di meja makan kami, tetapi juga di perjalanan hidup kami. Enam puluh tahun bukan waktu yang pendek, tetapi kehadiranmu tak pernah terasa usang ... karena kebenaran dan kejujuran memang tidak pernah kedaluwarsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI