Sejarah mencatat, terdapat sejumlah perang saudara yang dipantik oleh perbedaan suku agama dan ras. Bahkan, perselisihan semacam itu juga sempat singgah di beberapa daerah di Indonesia. Malam-malam yang indah jadi mencekam. Mereka yang tidak terlibat, jadi ikut ketakutan.
Pada level dunia, beberapa pembantaian terjadi akibat dorongan perasaan superioritas suku agama dan ras oleh para pelaku. Serangan teror di beberapa tempat ibadah pada belahan dunia, contohnya. Mereka yang meneror itu diarahkan oleh klaim bahwa pihaknya lebih unggul dari pihak lain. Sehingga insting kemanusian padam, gairah kebencian membuncah.
Konflik bersenjata, Â pembunuhan massal, dan tindak kekerasan brutal lainnya, bisa terjadi karena dipicu sentimen negatif pada pihak yang beda suku agama dan ras. Tentu ini bukan sekadar mimpi buruk, melainkan sejarah kelam yang tidak boleh terulang. Tidak di dunia, tidak pula di Indonesia. Kedamaian dan persatuan adalah mimpi umat manusia dari seluruh penjuru bumi.
Perbedaan adalah potensi positif. Karena, di dalamnya ada keunikan. Keragaman itu bisa dinikmati. Perbedaan suku agama dan ras membuat suatu negara punya kebiasaan berbeda. Yang pada satu titik, juga punya budaya, kesenian, dan tradisi yang berbeda.
Tak ayal, keunikan tersebut menjadi sumber daya tersendiri. Yang dapat diseret ke ranah pariwisata. Pariwisata itu Indah, dan dapat menjadi sumber pemasukan lokal. Jadi, kekayaan khazanah nusantara, yang berbeda-beda, sesungguhnya bisa dioptimalkan untuk kepentingan publik secara luas.
Bila perbedaan hanya dipandang sebagai biang konflik, kecurigaan akan terus membayangi. Waktu dan energi bakal habis untuk memikirkan soal kewaspadaan semi kewaspadaan terhadap saudara senegara. Yang waktu dan energi itu sejatinya bisa diarahkan untuk hal yang lebih bermanfaat.
Dunia dan Indonesia, tentu sudah lelah dengan pertikaian. Di negeri ini, khususnya, yang pada sejumlah pemilu, sempat melahirkan polarisasi berbasis primodialisme.Â
Krisis ini tidak relevan di negeri yang menjunjung semboyan bineka tunggal ika. Syukurlah, tampaknya masyarakat juga sudah jengah dengan kutub-kutub yang memisahkan itu. Sehingga bisa lebih fokus untuk berkarya dan berkreasi.Â
Meski memang, bibit-bibit kebencian masih disemai para oportunis yang ingin mencuri kesempatan dalam kesempitan. Maka itu, masyarakat harus lihai memilah dan memilih informasi agar tidak jadi sasaran adu domba yang berujung pada kebencian.