Mohon tunggu...
Dita Widodo
Dita Widodo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha. Praktisi urban garden dari 2016-sekarang. Kompasiana sebagai media belajar dan berbagi.

1996 - 2004 Kalbe Nutritional Foods di Finance Division 2004 - 2006 Berwirausaha di Bidang Trading Stationery ( Prasasti Stationery) 2006-sekarang menjalankan usaha di bidang Travel Services, Event Organizer dan Training Consultant (Prasasti Selaras). 2011 Mulai Belajar Menulis sebagai Media Belajar & Berbagi

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tentang Ipung – Edisi 2 (Tamat)

15 September 2012   01:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:27 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13476754391403831275

[caption id="attachment_205823" align="alignleft" width="300" caption="Ipung 2"][/caption] Secangkir coffee milk menjadi teman menulis pagi ini. Sabtu adalah hari dimana banyak orang melewatkannya untuk istirahat, berekreasi, dan sebagiannya masih melanjutkan aktifitas pekerjaan sehari-hari. Dan sederet jadwal acara pertemuan keluarga telah menanti di depan kami. Maka, pagi ini saya putuskan untuk melunasi sebuah janji yang saya buat sendiri. Untuk berbagi kisah Ipung, yang semoga mampu menyebarkan kesegaran, kegembiraan, semangat dan segala efek positif lainnya bagi para sahabat dan saudaraku semua. Agar secercah senyum dan segenggam harapan terus menghiasi dan mewarnai hari-hari di depanmu.....:) Di edisi lalu telah dibuka sebuah cerita dari Buku ”Hidup Ini Keras, maka Gebuklah!” karya Bung Prie GS yang terdiri dari Ipung 1, Ipung 2 dan Ipung 3 setebal 574 halaman. Tulisan kali ini adalah sekilas tentang Ipung 1. Berharap pembaca dapat melanjutkan menikmati buku tersebut secara langsung hingga Ipung 3.... ( sebuah iklan tulus tanpa pamrih, maka saya sebut sebagai ”rekomendasi” ala saya....red...:) ) :):) Tulisan ini semoga juga dapat menjawab sebuah tanggapan tulisan Tentang Ipung – Edisi 1 dari seorang sahabat Kompasioner yang menuliskan : ”Provokasi Smart FM”. :):):) ( www. kompasiana.com/dita.widodo ). Ipung, siswa SMA bertubuh kerempeng, kulit kecoklatan dan tampang sangat biasa saja. Sama sekali tak ada yang menarik perhatian para remaja putri seumurannya jika tak ada suatu nilai lebih lain yang dapat mengubah sebuah sudut pandang seseorang terhadapnya. SMA Budi Luhur yang terletak di kota Semarang tempat ia belajar, adalah sebuah SMA unggulan yang telah melegenda. Bangunan menjulang tinggi dan kesan tuanya tidak menjadikannya terkesan usang, namun semakin menancapkan kesan wibawa dan kebesarannya. ”Tadi Subuh ibumu kecelakaan. Kamu harus pulang Pung.....!” dan krek, telepon Lik Wur itu ditutup begitu saja tanpa ada penjelasan lebih panjang. Tanpa pikir panjang, Ipung pamit ke ibu kostnya untuk pulang ke kampung halaman. Hari itu sebenarnya hari pertama ia berjanji untuk berkenan berangkat ke sekolah bersama Paulin untuk membantu gadis itu memberikan sebuah pengakuan alasan membolosnya beberapa hari lalu. Selama ini, ia tidak tertarik untuk menaiki mobil BMW gadis yang naksir berat terhadapnya. Ia mati-matian membela sebuah harga diri dalam setiap tindak dan tanduknya. Jelas tak dapat dipungkiri, ia menyimpan rasa bahagia setiap kali menatap gadis tercantik di sekolah itu. Namun ia harus berhitung dengan sangat cermat agar tak seorang pun dapat meremehkan seorang desa, anak orang miskin sepertinya, termasuk si Paulin itu. Begitu Paulin mengetahui jika Ibunya Ipung kecelakaan, ia mengabarkan berita itu ke teman-teman sekolahnya. Dan kehebohan terjadi tak berapa lama. Solidaritas dari anak Budi Luhur langsung diwujudkan dalam bentuk yang tak disangka-sangka. Tercatat telah 3 kelas lolos dari pagar sekolah, keluar berarak-arakan menuju Kepatihan, kampung dimana rumah Ipung berada...! Sebagian besar mereka berhasil memberikan alasan yang meyakinkan pada orang tuanya sehingga mobil-mobil berhasil keluar dari garasi. Para orang tua memberikan ijin dengan suka rela maupun setengah terpaksa. Dan demi melihat anak-anak bubar bagai tawon (lebah ) keluar dari sarangnya, Pak Bakrie diutus oleh Pak Bahrun, sang kepala sekolah untuk mengejar dan mendampingi anak-anak didik mereka menggunakan bus sekolah. Pak Bakrie sendiri yang menyetir bis itu sendiri. Dan sebagian anak yang tak memiliki kendaraan berlarian menaiki bis tanpa komando. Sangat sigap dan cepat.... Dan hari itu, sekolah lengang hanya karena sebuah kabar yang masih kabur : Ibunya Ipung kecelakaan. Sementara itu, dalam perjalanan menuju pulang, Ipung dicekam kengerian yang mendalam. Kenapa orang hebat selalu mati muda? Kenapa orang-orang baik selalu gampang mati? Kenapa orang tercinta selalu diambil cepat? ”Ibuu....” isaknya lirih. Kamu jangan cepat mati. Tidak soal siapa yang akan membayar uang sekolahku, tapi ini soal kelengkapan kebahagiaan. Bapak telah lama mendahului. Yang kutahu, hanya dua orang yang tak mungkin kurelakan mati. Lik Wur dan Ibu. Mulut Gang Kepatihan Ipung menghentikan langkah. Rumahnya telah kelihatan. Ipung telah membulatkan niat, dan menemukan keyakinannya. Meski keyakinan untuk marah. Kemarahan yang tak ia mengerti. Bapak telah dipanggil Tuhan, kalau Ibu juga harus menyusul Bapak okelah. Aku bisa berbuat apa pada nasib. Tapi jangan dikira aku tak bisa marah pada nasib. Timpakan kematian itu pada ibuku, dan aku akan langsung keluar dari sekolah. Aku akan ”nyunggi” karung ke pasar Klewer, nggelar lincak dan melakukan apa saja untuk menyambung hidup. Tidur di emper-emper toko, jadi asongan, calo karcis, kereta dan bus. Pokoknya semuaaa, semuaaaaaa! Biar kamu puas, nasib. Akan kubuktikan kalau aku bisa jauh lebih sengsara dari sekedar yang kau kehendaki”. ( Sebuah kemarahan yang tak dapat menahan saya untuk tertawa geli....ngawuuuuur....red ). Sebelum mencapai pintu rumahnya, ia harus melewati rumah Mbok Dhe Broto. Ipung tahu, rumah itu adalah rumah Surtini, anak gadisnya. Dan sekarang Surtini telah melihat kedatangannya. Surtini terpaku di kejauhan. Ketika dekat betapa muka Surtini langsung kemerahan. Komplikasi antara rasa kaget, kikuk, dan suka cita ”Mas Ipung....” ”Haii Sur..” Surtini menunduk. Berdebar. Cewek sederhana ini mengagumi Ipung. Kekagumannya berlipat ganda ketika Ipung dengan cemerlang menembus SMA Budi Luhur. Sebuah rekor di kampungnya. Dan berlipat ganda setelah Ipung muncul di majalah MM. Kepatihan geger. Surtini melamunkan Ipung dengan keindahan yang ia gagal menterjemahkan. ( Ipung masuk di masuk di majalah MM terkait dengan kasus sepedanya yang dirusak Gredo, ketua kelas yang iri berat gara-gara si Paulin malah naksir pada cowok yang lolos dari perhitungan sebagai saingannya. Terpaksa saya lewatkan kisah tersebut demi memperpendek cerita....red ). Ipung menatap Surtini lama. Sangat lama. Ini membuat gadis itu seperti terbang. Tapi Surtini yang baik, kamu telah gagal menangkap apa yang ada di kepala Ipung. “Lik Wur telah kalah! Lik Wur telah kalah!” teriak batin Ipung. Ia menatap tajam Surtini, tapi konsentrasinya menembus ke dinding rumahnya. Ini Kepatihan, dimana duka seseorang adalah duka tetangga. Ia tahu betul kualitas Mbok Dhe Broto, kualitas Surtini. Di Kepatihan, tetangga lebih dari saudara. Kalau Ibu kecelakaan, Surtini sudah sejak tadi menjerit demi melihat Ipung. Maka, ia telah dapat menyimpulkan, Pakliknya yang memang suka bercanda itu telah mengelabuhinya. Kekhawatirannya menguap sudah. Lik Wur edan itu pasti sedang membuat tipuan. Singkat cerita, Ipung bertemu dengan Ibunya yang dalam kondisi sehat wal’afiat. Lik Wur tidak sepenuhnya berbohong, karena memang Ibunya Subuh tadi terserempet becak di Pasar Klewer.... Hanya sedikit lecet memang, tapi itulah cara Lik Wur untuk sekedar bertemu keponakannya yang sudah beberapa minggu tak pulang :):) Dan tak lama berselang, arak-arakan 50 mobil di bawah komando Paulin sebagai kaptennya telah sampai pula di mulut gang rumah Ipung. Mendadak Kepatihan seperti dilanda hajatan besar. Tamu-tamu yang jelas tidak dapat tertampung di rumahnya Ipung yang cukup sempit itu, praktis menyebar ke halaman tetangga-tetangga lainnya. Hiruk pikuk pun tak terelakkan. Di dalam Lik Wur dan Ibu Ipung gemetaran melihat jumlah tamu yang datang. Rumahnya yang kecil sederhana, jumlah kursinya, mutu perabotannya mendatangkan sebuah ketakutan dan kekhawatiran tersendiri yang sulit dibayangkan. Bukan berapa jumlah gula yang akan dihabiskan. Tapi bahwa sebentar lagi semua akan mengerti kemiskinan Ipung, itulah yang paling mencemaskan. ”Bilang-bilang too. Bilang-bilaaaang. Kalau begini malu kita.Maluuu. Ibu kan tidak siap!” ”Ibu memang tak perlu siap”Sembrono! Biar Lik Wur menangkap ayam. Coba ngabari dulu, pasti ayam-ayam itu tidak akan ibu lepas!” Ipung kaget. Sikap Ibunya masih sangat khas Kepatihan. Sangat berdosa kalau gagal menghormati tamu. Dan daging ayam adalah simbol penghargaan bagi tamu istimewa. Tapi kalau sampai Lik Wur harus mengejar-ngejar ayam itu? Ini komedi. Ipung tak ingin keluarganya terlalu udik, terlalu kikuk menghadapi orang kota. Dalam benaknya, kesombongan orang kota akan menjadi-jadi saat melihat keminderan orang desa. Ipung tak rela itu terjadi pada keluarganya. ”Berapa ayam kita Bu” ”Banyak. Siang-siang begini mereka biasa di kebun belakang” “Biar saya yang ngurus” Ipung ngeloyor pergi. Meneriaki Marjikun, temannya. Anak itu melorot cepat dari pohon jambunya. Mirip siamang. “Ada apa boss?” Ipung tak menjawab, melainkan langsung membawa Marjikun ke tengah kerumunan. Adegan ini membuat semua kegiatan terhenti. Sejak anak-anak datang, memang belum ada sambutan resmi dari tuan rumah. Lik Wur dan Ibu Ipung sibuk merancang rasa hormat. Maka tampilnya Ipung dan Marjikun menjadi harapan tersendiri. Ipung memang telah menjadi sosok yang aneh. Apa-apa menyangkut namanya, mendadak menjadi teka-teki. “Teman-teman. Saya pulang memang punya persoalan. Tapi bukan persoalan penting. Ibu saya keserempet becak. Dan saya tertipu oleh telpon Pak Lik saya” kata Ipung membuka suasana. Lagaknya biasa.. Tapi tawa langsung pecah di sana sini. Semua diam, menunggu. Mendadak adegan ini mirip sambutan resmi. ”Kalian tahu, beginilah keluarga saya. Rumah saya. Bapak saya telah tiada. Di rumah ini hanya ada Ibu dan Pak Lik saya. Itu dia orangnya.” Semua mata tertuju ke arah Wuryanto. Manusia gudang humor itu kali ini terkikis bakatnya. Ia memenuhi panggilan Ipung dengan rasa kikuk yang gagal ia sembunyikan. ”Ini Lik Wuryanto namanya. Suka Humor. Tapi sedang grogi begitu berhadapan dengan anak-anak kota” Lik Wur tertawa. Anak-anak riuh. ”Sekarang ibu saya” Ipung menoleh ke dapur dan berteriak..Ibuuuuuu. Minarni kaget bukan kepalang. Ia terdiam. Ipung terus memanggilnya. Ia keluar tanpa dandan. ”Ibu saya. Namanya Minarni. Bohong kalau Ibu tidak cantik”. Lagi-lagi semua tertawa. ”Ibu menyekolahkan saya dari hasil pensiun Bapak dan sedikit dari kebun. Maka tidak salah ketika sepeda saya rusak, kalian rame-rame menggantinya”. Semua gagal untuk geli. Sangat alamiah. Paulin mojok. Geli dan keharuan menyengat dadanya. Lik Wur blingsatan. Ibu Ipung kaku lidahnya. Ingin ia membungkam mulut anaknya, tapi bergerak pun menjadi sesuatu yang sulit luar biasa. Kedatangan kalian betul-betul merepotkan keluarga saya. Ibu misalnya terpaksa ingin memotong ayam. Padahal ayam itu kami pelihara dengan sangat hati-hati. Tapi Ibu pasti akan menderita kalau ayam itu tak jadi disembelih. Begitu kalian pulang, aku pasti yang akan dikutukinya. Aku tidak mau jadi an ak terkutuk. Maka ayam itu harus benar-benar disembelih. Aku juga tidak rela kalau Pak Lik saya yang harus nguber ayam-ayam di kebun belakang. Soal pengejaran, urusan kalian! Setujuuuu!” Teriakan serempak langsung pecah dimana-mana. Minarni hampir pingsan melihat tindakan anaknya. Lik Wur mulai berani tertawa. Dan semua reaksi itu tak penting lagi. Anak-anak menyerbu kebun belakang. Marjikun berlari paling depan. Sejenak kemudian telah terdengar jeritan ayam panik. Sepuluh ayam berhasil dirangket. ”Hanya yang sembahyang yang berhak menyembelihnya” teriak Ipung memberi komando. Semua bergerak cepat. Wuryanto terpana melihat kejadian ini. Lebih terpana lagi ketika ia melihat jelas, dua ayam tetangga ikut terbantai di pengangkapan massal ini... --------------------***----------------- Itulah sekelumit kisah tentang Ipung. Sebuah novel yang berisi berbagai cerita komedi yang sangat menghibur, namun sarat pembelajaran. Bahwa kemiskinan bukanlah sebuah aib atau tontonan yang mengundang belas kasihan. Persahabatan seharusnya tak memandang derajat dan kasta. Perabotan mewah dan mahal dalam sebuah rumah bukanlah syarat untuk membuat sang tuan rumah dihormati oleh tamunya. Kesederhanaan, tampil apa adanya tidak akan merendahkan siapa pun kita. Penghargaan orang lain adalah sudut pandang yang kita ciptakan sendiri. Dan polesan cerita cinta Paulin, Ipung dan Surtini, yang mewakili cerita lumrah para remaja berhasil dikemas dengan sangat elegan oleh penulisnya. Cinta itu anugerah...maka berbahagialah. Sebab kita sengsara, bila tak punya cinta.....”Lagu lama Doel Sumbang di jaman saya muda itu menjadi kesegaran tersendiri saat menghadirkan berbagai cerita yang selalu indah untuk sejenak diingat kembali.... Bagaimanakah dengan Anda? :)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun