Mohon tunggu...
Mahendra Dilegant
Mahendra Dilegant Mohon Tunggu... Mahasiswa - Cerpenis, Catatan Perjalanan dan Filosofis Esai.

Membebaskan diri dari segala belenggu duniawi dengan menulis. Menyukai kebebasan tulisan yang mengandung sarkasme dan liberal.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dari Pesantren ke Inggris, Sebuah Perjalanan Santri untuk Membanggakan Seorang Ayah

13 Februari 2022   18:25 Diperbarui: 13 Februari 2022   18:29 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bapak, sehat-sehat. Saya disini insyaallah baik-baik saja kalau bapak juga sehat."

Kalimat terakhir menutup telepon, selepas itu, butuh kalender melompat ke tanggal 3 berikutnya baru punya kesempatan menggenggam handpone lagi. Begitulah singkatnya rindu dilepaskan. Komunikasi lewat HP hanya dibatasi sebulan sekali, begitupun kunjungan yang setiap bulan dijadwalkan kini harus ditiadakan sementara karena pandemi.

Ada empat puluh orang yang mengantri di belakang Lasut. Semuanya santri kelas 1 SMP. Masing-masing hanya diperbolehkan menelpon selama lima menit. Bila tak kunjung telepon diangkat, maka haruslah mereka menuliskan surat di atas kertas yang nantinya akan difoto dan dijapri ke wa orang tua mereka.

Lasut sungguh tak tahu bahwa dua hari setelah menelpon ia akan jatuh sakit. Begitupun orang tua nya juga tak tahu bahwa sebelum mengirimkan paketan bulanan Lasut, ia akan di PHK oleh pabrik tempatnya bekerja. Senang-senang saja rasanya mendengar anak di podok masih betah, juga tak ada pikiran bahwa hari-hari kedepan ternyata punya kejutan yang tak biasa. 

Lasut pun sama, ia masih anak berusia 13 tahun, baginya mendengar ayahnya meng-iya-kan mengirim barang permintaannya adalah sesuatu yang paling menyenangkan selama satu bulan ini. 

Ia tak terlalu faham bahwa pekerjaan adalah mata kail sebuah rumah tangga. Tanpa ekonomi yang stabil, sebuah ikatan biasanya akan diterjang ombak yang dahsyat.

Benar saja, Allahurabbi. Sehabis menelpon, sebuah surat mendarat dari pabrik ke depan rumah mereka. Ayah yang membacanya mulai tak kuat membendung air mata, emak juga tiba-tiba naik pitam. Ia langsung saja menyalahkan suaminya yang hanya tamat SMP itu. 

Tubuh kurus ayah adalah masalah besar dimata emak yang sedang dibara amarah. Ayah adalah pekerja kasar di pabrik semen, dengan mengandalkan gaji satu juta setengah, ia dengan percaya diri mengontrak bedeng dan membuka warung jajanan ringan untuk anak-anak sekitar. 

Tapi, menurut emak itu tak cukup, tubuh ayah yang kurus dan tenagangya yang bisa dibilang lemah suatu ketika akan digerus oleh kapitalis perusahaan. 

Mempertahankan orang-orang yang kurang produktif tentu dipandang sebagai sebuah problem bagi manajer pabrik, disamping itu, kebiasaan ayah membeli buku untuk Lasut juga dianggap hal yang paling boros sama sekali.

Singkat cerita, ayah yang masih mempertahankan keputusan untuk mengirimkan barang kepada Lasut di pesantren malah menjadi belati tajam yang mengeruk emosi emak. 

Hubungan suami-isteri yang berlangsung selama 14 tahun ini retak tepat di depan bongkahan barang yang hendak dikelas untuk Lasut. Disana terlihat mie instan, kopi saset, kerupuk, sebungkus keripik dan empat buah buku bacaan yang dibelikan ayah di pasar barang bekas.

Dokpri
Dokpri

Akhir hikayat, Lasut adalah nama samar dari seseorang yang sekarang sedang mengenyam studi di Inggris. Pada tahun 2016, Lasut mendapatkan beasiswa S1 di Jurusan Biologi di UIN Jakarta dan sekarang melanjutkan pendidikan S2 di jurusan yang sama di University of Exeter, Inggris. Lasut bercerita bahwa keduanya, ayah dan emak-nya selalu menjenguknya di pesantren namun di waktu-waktu yang berbeda.

 Emak sekarang sudah mempunyai keluarga baru dan dikaruniai 2 orang anak lelaki dari suaminya sekarang, sementara ayah masih setia menunggu Lasut untuk menyelesaikan studinya. 

Ia gonta-ganti profesi untuk membiayai mimpi-mimpi Lasut di pesantren, mulai dari tukang ojek, juru parkir, jualan batagor, hingga sekarang berjualan pentol keliling.

Di mata ayah, Lasut masih sama, anaknya yang menjadi seorang santri dan selalu menelponnya sebulan sekali. Hanya untuk menanyakan kabar dan meminta kiriman beberapa barang, salah satunya, pasti, sebuah buku setiap bulan.

Ditulis di Istanbul, 13 Februari 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun