Mohon tunggu...
Diyo Suroso
Diyo Suroso Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Panggil saja Diyo.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Ucapan adalah Doa? Yes, Itu Fakta!

14 September 2020   11:13 Diperbarui: 14 September 2020   11:21 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Tribunnews.com

Kita sering mendengar istilah 'ucapan adalah doa' dalam keseharian. Ibu, ayah, guru atau bahkan trainer kita kerap mengatakan bahwa ucapanmu adalah doa, maka jangan bermain-main dengan ucapan. Awalnya saya hanya melihat itu hanya agar seseorang tidak mengucapkan ucapan-capan yang tak bermanfaat. Namun, kini saya percaya bahwa kalimat 'ucapan adalah doa' merupakan fakta.

Tepatnya pada 2013 silam. Saat saya masih duduk di bangku kelas XII Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Hingga kini, paradigma masyarakat meyakini bahwa lulusan SMK lebih berpeluang masuk ke dunia kerja dibandingkan lulusan SMA. Sebab, di SMK lebih diajarkan spesifikasi keahlian.

Hal itu pula yang mendasari kisah ini. Karena rata-rata lulusan SMK melanjutkan kariernya dengan bekerja, maka saya pun banyak menerima sebuah pertanyaan 'habis sekolah mau ke mana?'. Pada saat itu, saya sebagai siswa yang bahkan belum menjalani ujian nasional, menjawab pertanyaan itu dengan enteng, 'kerja dulu setahun, habis itu kuliah'.

Namun, seiring berjalannya waktu, semakin banyak orang yang bertanya demikian. Mulai dari teman, saudara, keluarga, guru, orang tua teman hingga orang tua saya sendiri. Tapi sekali lagi, saya jawab setiap pertanyaan itu dengan jawaban yang sama, 'kerja dulu setahun, habis itu kuliah'.

Secara tidak sadar, saya terus mengulangi kalimat itu setiap kali ditanya seseorang. Jika dihitung, mungkin sudah ratusan kali. Bahkan saya pun tak sanggup mengingatnya. Padahal, kalimat itu hanya pikiran saya semata yang melintas dalam otak ketika ditanya pertanyaan tersebut. Saya pun tak memiliki alasan yang pasti mengapa saya harus menjawab demikian. Tapi, entah mengapa saya seperti memiliki keyakinan yang kuat dengan apa yang saya katakan itu.

Saya memang ingin kuliah, tapi dalam benak saya berpikir bahwa, saya dilahirkan dari keluarga yang sederhana. Bahkan dalam silsilah keluarga pun, belum ada yang mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Oleh sebab itu, saya beranggapan bahwa saya hanya akan menjadi beban bagi orang tua jika saya melanjutkan pendidikan menggunakan biaya dari orang tua.

Solusinya, saya harus memiliki uang sendiri. Setidaknya uang untuk mendaftar kuliah. Maka jawaban 'bekerja dulu' merupakan jawaban yang paling logis untuk saya utarakan demi menjawab kekhawatiran saya itu. Sedangkan, ketika sudah masuk masa kuliah, saya berpikir bisa melakukannya sembari bekerja. Gaji dari bekerja paruh waktu itulah yang kelak akan saya gunakan untuk membiayai kuliah. Jadi, tak harus membebani orang tua.

Begitu pikir saya!

Waktu pun berjalan, saya-alhamdulillah-lulus dengan nilai yang cukup memuaskan. Tidak banyak yang saya rencanakan setelah itu, hingga dua pekan setelah kelulusan, saya mendapatka informasi bahwa ada rekrutmen tenaga kerja di jakarta, dan SMK saya diundang untuk mengikuti acara tersebut.

Saya pun tak pikir panjang. Bersama 42 siswa lainnya, saya berangkat ke Ibu Kota. Proses seleksi pun dilakukan. Hingga akhirnya kami menyelesaikan seluruh seleksi dengan baik dan tiba waktunya untuk pulang. Kabarnya, kami akan dihubungi jika dinyatakan diterima.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun