Mohon tunggu...
Dion Pardede
Dion Pardede Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Akan terus dan selalu belajar.

Absurdites de l'existence. Roséanne Park 💍

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Residu Politik dalam Dinamika Penanganan Wabah

28 April 2020   01:12 Diperbarui: 16 Juni 2020   01:34 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Pemerintah lalai", " Pemerintah lamban", "Pemerintah abai". Seolah tak bisa dihindari, kalimat-kalimat ini wajib menghiasi timeline media sosial kita minimal sekali sehari, namun bukan cuma itu saja, kalimat; " Rakyat bebal", "Taunya nyalahin aja", " Dasar barisan sakit hati!" dan lain sebagainya tak ketinggalan coba meng-counter kalimat-kalimat kontra pemerintah di atas, dalam dinamika penanganan wabah Covid-19. Fenomena ini tidak bisa kita sikapi sebagai perbedaan pandangan secara objektif atau ilmiah saja (untuk beberapa hal, kita sebaiknya tak se- positif itu).


Memang harus diakui, bahkan kaum terpelajar pun tak lantas sesuara dalam persoalan menangani wabah, hal ini pula yang kemudian mengantarkan mereka ke dalam kelompok yang cenderung berpihak pemerintah dan di luar itu, atau setidak-tidaknya terbagi ke dalam kelompok yang tidak sepenuhnya dan sepenuhnya menyalahkan pemerintah. Soal pendirian mereka, sebagian besar disertai argumen yang relatif ilmiah dan masuk akal, sehingga soal di mana mereka berdiri dapat diterima.


Maka sekarang yang sudah pasti tidak kalah penting, bagaimana dengan persoalan 'beda atau sama' di tengah masyarakat khususnya menengah ke bawah?, bagaimana seorang petani yang terampil mencangkul sejak kecil membangun argumennya kemudian menjelaskan keberpihakannya?. Tanpa mengurangi rasa hormat, kaum-kaum ini akan cenderung subjektif dan kurang atau sama sekali tidak ilmiah dalam membangun argumennya. Rasa cinta yang berlebih kepada pemimpin pilihannya, sentimen ras antara dirinya dan pembuat kebijakan rasa-rasanya cukup berpengaruh dalam hal ke arah mana dia atau dengan siapa dia berdiri. Atas fenomena tersebut, tak salah jika kita memandang hal ini sebagai residu polarisasi yang timbul pada tahun demokrasi 2019 yang lalu.

Lagi-lagi tanpa mengurangi rasa hormat, cara seorang nelayan yang sudah lama putus sekolah dalam menyikapi produk hukum yang dikeluarkan pemerintah tentu tidak akan sama dengan Profesor PTN ternama Indonesia atau setidak-tidaknya mahasiswa. Bagaimana ahli hukum UGM menyatakan PP No. 21 tahun 2020 tidak memenuhi ekspektasi masyarakat selama sebulan penantian, atau bagaimana kejanggalan Perpu No. 1 tahun 2020 yang dalam salah satu pasalnya seolah memberikan kekebalan hukum terhadap kesalahan dalam bidang keuangan baik itu sengaja maupun tidak sengaja, padahal korupsi di tengah keadaan darurat ancamannya adalah hukuman mati, tentulah lebih maju daripada nelayan tadi. Kita misalkan nelayan tadi memilih salah satu capres di pesta/perang demokrasi yang lalu, pandangannya akan serta-merta 'ngikut' petinggi koalisi capres pilihannya.


Efek Pilihan politik 2019


Tanpa melebih-lebihkan, polarisasi yang terjadi pada gelaran pemilu 2019 lalu merupakan salah satu yang paling tegas dan tajam dalam sejarah republik. Kedua kubu seolah-olah berdiri masing-masing sebagai 'yang paling mewakili kaum tertentu' sekaligus 'yang paling anti kelompok tertentu'. Kita bisa rasakan sentimen itu dengan adanya aksi dengan nuansa sangat religius mendeklarasikan dukungannya kepada salah satu capres, dan tidak ketinggalan, salah satu partai politik di kubu seberangnya dengan lantang menolak perda berbasis agama, dan poligami.


Sebagian orang mungkin sudah memprediksi polarisasi ini akan lebih panjang dari sekadar pilpres dan putusan MK. Sebagian lagi, merasa ini berlebihan hingga di tengah wabah, residu polarisasi masih mengelilingi kita. Satu kubu akan 'gengsi' untuk mengakui kebenaran pandangan kubu lain, dan kubu yang lain masih senang ketika pemimpin pilihan kubu seberang salah dalam mengambil keputusan (kalau tidak bahagia dengan dampaknya, minimal bahagia dia punya sesuatu untuk diunggah).


Lebih konkret lagi, fenomena Lord Luhut Binsar Pandjaitan yang kerap dituding sebagai 'atasan Jokowi', bahkan oleh ekonom senior Faisal Basri kehadirannya lebih berbahaya dari Corona  menciptakan keriuhan yang cukup masif. Mungkin, kaum terpelajar akan mengemukakan alasan sifat pro atau kontranya secara masuk akal dan memang berdasar. Namun, bagaimana dengan masyarakat kecil?, apakah penduduk mayoritas kristen dengan mayoritas islam akan sesuara akan hal ini?, apakah daerah lumbung suara Jokowi akan setuju dengan argumen petinggi koalisi Prabowo?, Apakah masyarakat sekitar Danau Toba yang merupakan kampung halaman Luhut Pandjaitan akan turut mengecamnya?. Dari yang bisa diamati, tidak. Di daerah saya, Pematangsiantar dan daerah sekitar Danau Toba misalnya, di sini,petani yang mencangkul di sawah siang hari dan menonton televisi malam harinya cenderung mengutuk pihak-pihak yang menghina bahkan mengkritik Luhut atau Jokowi, lalu bagaimana dengan mereka yang hidup di daerah yang pada Pemilu 2019 lalu 'kontra' Jokowi?, tentu saja cenderung akan turut menghujat Luhut yang memang sedari awal terjadi polarisasi adalah bukan 'orang mereka'.


Kita tidak bisa menyalahkan masyarakat dan subjektivitas mereka seolah-olah tidak ada andil dari edukasi yang diberikan elit-elit politik kita. Beberapa orang pintar mengatakan "Ini adalah warna demokrasi". Ya, ini memang warna demokrasi, meskipun kalimat tersebut kerap dijadikan pengantar mereka ke tempat aman dari tanggung jawab atas kekacauan yang mereka produksi ini. Demokrasi memanglah manis, dan kebebasan berekspresi adalah buahnya yang tentu akan manis pula. Akan tetapi, apakah buah bernama kebebasan berekspresi akan tetap manis bila dalam pertumbuhannya dihinggapi 'hama' berupa penyalahgunaan, pembelahan masyarakat demi kepentingan tertentu, penyesatan masyarakat, dan lain sebagainya?.


Soal menguji validitas informasi


 Media massa sebagai pilar demokrasi, tentu perlu dan harus hadir dalam distribusi kebenaran bagi masyarakat luas. Demi tujuan itu, maka sudah barang tentu, pengujian validitas informasi menjadi besar urgensinya di tengah wabah. Berbagai berita berseliweran selama banyak orang terpaksa melakukan segalanya di rumah. Karena tersedianya waktu luang untuk membaca berita/informasi, masyarakat cenderung lebih akrab dengan kanal berita maupun media sosial. Di tengah wabah yang memproduksi keresahan dan kecemasan, serta peluang masyarakat untuk mengakses informasi semakin lebar, tentulah kehadiran informasi yang valid benar-benar diperlukan demi mengawal penanganan wabah dan meningkatkan partisipasi masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun