Di tengah riuhnya demonstrasi yang menjalar ke berbagai penjuru negeri, kita dihadapkan pada kenyataan pahit: ada saudara kita yang menjadi korban. Bukan karena salah, bukan karena melawan, tapi karena berada di tempat yang seharusnya aman. Dilindas oleh kendaraan taktis yang seharusnya menjaga, bukan mencederai. Pelakunya? Kita tahu. Tapi apakah keadilan tahu?
Kecaman pun bergema, dari  provinsi, kabupaten lorong-lorong  Negeri termasuk Makassar hingga sudut-sudut Maros. Makassar, yang selama ini dikenal sebagai "Siri na pacce" dalam panggung demonstrasi nasional, kini tercoreng oleh luka yang ditinggalkan. Ironis, ketika gerakan yang mengatasnamakan keadilan justru menelan korban dari rakyat itu sendiri.
Lalu, siapa yang peduli? Apakah mereka yang gugur bukan bagian dari republik ini? Apakah air mata keluarga mereka tak cukup untuk menggugah nurani?
Hari ini, Maros menjawab dengan elegan. Tanpa kekerasan, tanpa amarah yang meledak. Aspirasi disampaikan dengan kedewasaan, bukan dengan batu atau laras panjang. Tidak ada gas air mata yang membungkam suara, tidak ada ancaman yang menodai tuntutan.
Aliansi berdiri bukan untuk melawan negara, tapi untuk mengingatkan bahwa negara ini milik kita semua. Termasuk mereka yang telah menjadi korban
Aliansi bergerak dengan ritme yang matang---mengusung keresahan bersama, bukan sekadar euforia massa. Di sini, aksi bukan sekadar perlawanan, melainkan refleksi. Kedewasaan menjadi ruh, pemahaman menjadi nadi. Karena pergerakan sejati adalah perjuangan, dan perjuangan yang tulus adalah keho
rmatan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI