Paus Fransiskus menanggalkan atribut-atribut mewah itu dan memilih berjalan di tengah umatnya, membawa pesan bahwa Gereja bukanlah istana, melainkan rumah sakit lapangan bagi mereka yang terluka oleh zaman.
Dalam hal ini, Paus Fransiskus telah melampaui sekat-sekat tradisional keagamaan. Ia bukan hanya gembala bagi umat Katolik, melainkan juga ayah rohani bagi semua orang yang mencari harapan, keadilan, dan penghiburan. Ia membangun jembatan dialog antaragama, menjalin persaudaraan dengan pemimpin Muslim, Yahudi, Buddha, dan agama-agama lokal, dengan keyakinan bahwa semua manusia diciptakan dalam cinta yang sama dan memiliki martabat yang tak ternilai.
Lewat dokumen Fratelli Tutti, ia menegaskan bahwa semua orang adalah saudara, dan bahwa dunia hanya akan damai jika umat manusia bersedia memandang sesamanya sebagai bagian dari satu keluarga besar.
Doa Terakhir yang Menggema
Pada perayaan Paskah terakhirnya di Lapangan Santo Petrus, Roma, Paus Fransiskus menyampaikan pesan yang kini dikenang sebagai doa dan pesan terakhirnya bagi dunia.Â
Dalam homili singkat dan sambutannya yang lirih namun penuh makna, beliau mendoakan perdamaian di tengah konflik yang belum kunjung reda di berbagai belahan dunia, terutama di Ukraina, Palestina, Sudan, dan wilayah-wilayah lain yang tercabik oleh kekerasan dan kebencian. Ia mengangkat tangan, bukan untuk menghakimi, melainkan untuk memberkati dunia yang terus bergulat dalam luka-luka sejarah dan ketidakadilan masa kin
Doa itu tidak hanya menjadi pesan religius bagi umat Katolik, tetapi juga sebuah seruan moral yang melintasi batas iman dan ideologi. Ia memohon kepada Tuhan agar umat manusia belajar hidup dalam harmoni, saling memaafkan, dan memprioritaskan martabat sesama di atas kepentingan ekonomi maupun politik.
Dalam doanya, Paus Fransiskus mengungkapkan kegelisahannya terhadap meningkatnya xenofobia, kemiskinan struktural, dan kerusakan alam yang mengancam keberlangsungan kehidupan.
Yang menjadikan doa itu begitu menggema bukan hanya karena siapa yang mengucapkannya, tetapi karena kedalaman makna dan ketulusannya. Paus Fransiskus tidak berdoa untuk dirinya sendiri. Ia tidak meminta kesembuhan atau keselamatan pribadi, melainkan mendoakan dunia yang masih jauh dari damai.
Ia mendoakan anak-anak yang tidak dapat tidur karena suara tembakan, para ibu yang kehilangan harapan di tengah tenda-tenda pengungsian, dan para lansia yang kesepian di kota-kota besar yang tidak peduli. Ia mendoakan bumi yang semakin rusak akibat keserakahan manusia, dan memohon agar kita semua kembali kepada kesadaran sebagai penjaga, bukan penguasa ciptaan.
Dalam doanya yang terakhir itu, tersimpan seluruh nafas kepemimpinannya: kasih tanpa syarat, keberanian moral, dan pengharapan yang tak pernah pudar.