Mohon tunggu...
Dionisius Bei
Dionisius Bei Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Filsafat

Nama: dionisius bei TTL: NAru, 27 November 1993 Alamat: Jln. Joyo Agung 100_MAlang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kebahagiaan adalah Being-ku

20 April 2021   17:14 Diperbarui: 20 April 2021   17:17 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

  • Abstrak 

Dalam tulisan ini, saya fokus pada tema tulisan saya yang bejudul "Kebahagiaan adalah Beingku", yang saya angkat di sini adalah perbandingan prespektif tentang Kebahagiaan, menurut Armada Riyanto dan Valentinus Saeng. Kedua filosof ini memiliki prespektif yang berbeda tentang arti kebahagiaan itu sendiri. Menurut, Armada Riyanto, dalam bukunya yang berjudul Menjadi-Mencintai, Kebahagiaan adalah Sang Peziarah. Kebahagiaan adalah sebuah peziarahan manusia yang di lakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Bagi beliau, bahagia itu tidak tunggu nanti tetapi dilakukan sejak saat ini dan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan, menurut Valentinus, yang mengikuti Thomas Aquinas, mengatakan bahwa kebahagiaan sejati adalah persatuan dengan Sang Kebahagiaan itu sendiri, yakni Tuhan. Saya mengikuti Armada Riyanto, menegaskan bahwa kebahagiaan saya adalah menikmati dan bahagia dengan apa yang saya lakukan saat ini. Saya harus bahagia dengan pilihan saya dan apa yang saya lakukan. Dengan menggunakan metode perbandingan, saya akan mengupas arti kebahagiaan itu. Tentu dengan perbandingan prespektif dari kedua filosof ini.

Kata Kunci: Kebahagiaan, Being, Eksistensi, Peziarahan, Realitas

  •  
  • Pendahuluan
  • Setiap manusia selalu dan senantiasa menginginkan kebahagiaan dan berusaha untuk memiliki kebahagiaan itu. Kebahagiaan menjadi cita-cita dan tujuan hidup setiap pribadi. Maka, tidak heran apabila kebanyakan orang sampai menghalalkan berbagai macam cara untuk bisa mencapai kebahagiaan itu. Tidak ada satu orangpun di dunia ini yang mau hidup di dalam penderitaan dan terkungkung dalam kesengsaraan, semua orang menginginkan kebahagiaan. Memang benarlah, bahwa secara kodrati dalam diri manusia terdapat dua fakta ini, yakni penderitaan dan kebahagiaan. Namun, kebanyakan orang hanya menerima kebahagiaan dan menolak penderitan. Mereka hanya mau menerima eksistensi manusia sebagai makluk yang mencari kebahagiaan. Oleh sebab itu, mereka berusaha jatuh bangun untuk menggapai kebahagiaan tersebut, meskipun terkadang nyawa mereka menjadi taruhannya. Apabila penderitan terjadi atas diri mereka, mereka akan berusaha semaksimal mungkin untuk menjauhkan atau menghindarinya. Bagi mereka, penderitaan adalah penghalang untuk mecapai kebahagiaan. Namun, dalam kehidupan nyata kedua fakta ini tidak bisa dilepaspisahkan dari kehidupan manusia. Kebahagiaan hanya bisa dimaknai dan dimengerti dalam keseluruhan kehidupan manusia, termasuk di dalamnya ada pendertiaan. Begitupun sebaliknya. Apabila saya mampu melewati dan mengatasi penderitaan, itulah kebahagiaan yang sesungguhnya. Lalu apa arti kebahagiaan itu? Untuk menjawab pertanyaan itu, dalam tulisan ini saya melakukan perbandingan penjelasan dari Armada Riyanto dan Valentinus Saeng. Kiranya dengan penjelasan kedua filosof ini dapat membuka wawasan kita tentang arti kebahaiaan dan merefleksikannya dalam kehidupan harian kita.
  •  
  • Pemikiran Armada  Riyanto Tentang  Kebahagiaan 
  • 2.1. Sekilas pemikiran Armada Riyanto tentang Manusia

Pemikiran Armada Riyanto menurut saya berciri fenomenologis. Hal ini nampak di dalam bagian awal pengantar bukunya yang berjudul: MENJADI-MENCINTAI. Beliau menjelaskan dengan cermat "bagaimana berfilsafat" itu. Berfilsafat berarti peziarahan Menjadi-Mencintai. Armada Riyanto mengatakan,

Menjadi-Mencintai adalah being manusia. Manusia melangkah, menjadi, memanusiawi, mencintai: ia menyeberangi, melampaui, mentransendensi dirinya, hidupnya, presepsipnya, dan dunianya. Menjadi-Mencintai di tulis dengan tanda penghubung, maksudnya, kedua kata ini seolah-olah satu makna, yang mengurai peziarahan manusia. Karena manusia berziarah, ia Berjalan Menjadi-Mencintai, menggapai kepenuhan cinta.[1]

 Mengikuti alur pemikiran ini, maka dapat dikatakan bahwa manusia adalah eksistensi yang berziarah. Perziarahan itu menurut Armada, tidak terlepas dari keseharian hidup manusia. Maka, berfilsafat sehari-hari menurut beliau selalu bertolak dari hidup sehari-hari. Armada menjelaskan demikian,

 Filsafat fenomenologi mengabdi hidup sehari-hari. Dalam fenomenologi, keseharian adalah sumber pengetahuan. Keseharian adalah lapangan kehidupan, harta karun kebijaksanaan dan kebenaran. Keseharian adalah panorama dinamika kedalaman being manusia.[2]

 Maka, ketika orang tidak memaknai keseharian hidupnya, itu sama dengan tidak mengada atau tidak memanusiawikan dirinya. Karena kebenaran mengenai being manusia ada dalam fenomena keseharian hidupnya. Dan akan bermakna lagi jika "refleksi manusia mengenai beingnya bergulat dengan relasinya dengan Allah."[3] Itulah tujuan akhir dari perziarahan, Menjadi-Mencintai-nya manusia dalam keseharian hidupnya. Ia menjadi bersatu dengan Allah dan memeluk Cinta yang adalah Allah sendiri.

 Dari sini saya dapat memahami bahwa titik tolak dari ide filosofisnya dalam buku Menjadi-Mencintai adalah kecintaanya akan fenomenologis hidup sehari-hari manusia. Sehingga beliau mengatakan, bahwa "catatan kaki dari bukunya adalah kehidupan sehari-hari"[4]

 

 

  • 2.2. Kebahagiaan Menurut Armada Riyanto
  •  
  •                  Konsep kebahagiaan menurut Armada Riyanto tidak terlepas dari pemahamannya tentang manusia, yang beliau uraikan dengan begitu indah di dalam bukunya yang berjudul Menjadi-Mencintai: Berfilsafat Teologi Sehari-hari. Menurut Armada, manusia adalah Sang Peziarah. Peziarahan itu berjalan tanpa berhenti dan dilakukakan sehari-hari. Peziarahan itu selalu dan memilki tujuan tertentu. Armada menegaskan, bahwa "bahagia adalah tujuan akhir dari keseluruhan peziarahan hidup manusia. Sebab, tidak seorang pun manusia yang tidak menginginkan kebahagiaan."[5] Lalu, apakah arti kebahagiaan itu? Beliau memberi jawabannya dengan melihat fenomena yang terjadi dalam hidup sehari-hari. Dia melihat, bahwa kebanyakan manusia lebih melihat kebahagiaan itu hanya sebatas kepuasan fisik-lahiriah semata. Manusia mengindentikkan kebahagiaan itu dengan kekayaan, kekuasaan, kesehatan memadai atau dalam kekuatan dirinya yang perkasa. Namun demikian, manusia tidak merasa puas dengan semua yang ada. Namun, bagi Armada Riyanto, semua indentifikasi di atas hanyalah merupakan kebahagiaan fisik semata dan yang bersifat sementara. Sehingga, beliau menyimpulkan bahwa, "kenikmatan fisik atau apapun tidak sama dengan bahagia. Hingga kini...makna bahagia tidak cukup meyakinkan."[6]
  •  
  •                  Untuk itu, Armada mengutip pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa, bahagia itu bukan pertama-tama bukan tentang fisik. Bahagia merupakan aktivitas manusiawi. Jadi, menurut Armada, bahagia yang dimaksudkan Aristoteles adalah aktivitas mengejar kebahagiaan itu sendiri. Maka, Armada menegaskan,
  •  

  •  
  •                  Logika Aristotelian ini menegur cara pandang kebanyakan. Banyak dari kita yang berpikir bahwa bahagia itu sebuah produk, hasil ganjaran. Artinya, aktivitas itu sendiri tidak berhubungan dengan sesuatu yang membahagiakan; Kebahagiaan itu adalah ganjaran nanti atas aktivitas yang kita jalankan... Misalnya, aktivitas membunuh orang dengan cara sweeping atau menyakitkan orang lain atau bom bunuh diri, kerap dikerjakan dengan keyakinan bahwa kelak dia akan mendapat bahagia di surga. Logika ini aneh dan absurd, serta tentu keliru sama sekali dari sudut pandang Aristotelian. Kebahagiaan jelas tidak sama dengan melakukan keburukan.[7] 
  •  

  •  
  •             Lebih lanjut dijelaskan, bahwa, "kekeliruan yang terjadi oleh karena perbuatan para teroris atau siapapun terpisah dari arti kebahagiaan itu sendiri. Mereka menganggap bahwa kebahagiaan itu masih akan datang, bukan dalam aktivitas yang sedang dikerjakannya. Sekali lagi beliau mengutip Aristoteles, kebahagiaan terletak pada aktivitas mengejar kebahagiaan itu sendiri. Di sini menjadi sangat jelas bahwa kebahagiaan itu bukan persoalan nanti, tetapi di sini dan saat ini. Sebab, jika kebahagiaan itu baru terjadi nanti, mengapa tidak tunggu saja waktu itu? dan untuk apa kita menyibukan diri dengan aktivitas-aktivitas sekarang ini, toh kebahagiaan itu baru terjadi nanti. Hal ini mau menegaskan, bahwa kebahagiaan itu terletak pada aktivitas sekarang ini dan menyatu dengannya.
  •  
  •             Konsep ini kemudian akan menjadi lebih sempurna di tangan Thomas Aquinas. Menurut Thomas, sebagaimana dikutip oleh Armada Riyanto, mengatakan "jika kebahagiaan itu identik dengan produk aktivitas virtus (keutamaan) dan bukan kejahatan, haruslah diandaikan bahwa aktivitas mengejar dan membela virtus adalah aktivitas yang membahagiakan... Keutamaan bukanlah prestasi. Keutamaan adalah perbuatan berkali-kali dan menjadi kebiasaan (habitus).[8] Jadi, kebahagiaan terletak pada aktivitas itu sendiri. Armada kemudian menulis dengan sangat indah, aplikasi dari filsafat Thomas Aquinas.
  •  

  •  
  • Dalam hidup sehari-hari memberi makna kepada yang berkekurangan tentu membahagiakan. Sungguh membahagiakan melihat orang lain tersenyum dan lega karena bisa makan. Tetapi, hal membahagiakan semacam ini tidak dijalankan sekali saja dan lantas memproduksi kebahagiaan terus menerus sepanjang hidup. Jelas tidak demikian. Kebahagiaan adalah aktivitas keutamaan yang dikerjakan terus menerus dalam hidup sehari-hari. Ya, terus menerus. Jika orang berhenti sekali saja dan tidak melakukan kebaikan kepada yang lain, dia kehilangan momen aktivitas yang membahagiakan. Dan dia kehilangan kebahagiaan itu sendiri.[9]
  •  

  •  
  •             Pemikiran ini kemudian dikembangkan dengan mengikuti gagasan Levinas yang mengatakan bahwa, "kebahagiaan tidak ada, kecuali berkaitan dengan kebahagiaan orang lain (Liyan).[10] Liyan adalah semua orang yang semartabat. "Liyan adalah diri sendiri dalam inkorporasi dengan diri sesama. Jadi, membahagiakan Liyan identik dengan membahagiakan diri kita sendiri. dalam hal ini, kita dapat melihat bahwa manusia dalam hal ontologis, apa adanya tanpa memilah-milah. Maka, bahagia berarti hormat terhadap Liyan, terhadap sesamaku, siapapun."[11] Itulah kebahagiaan yang harus dimaknai dalam kehidupan sehari-hari.
  •  

  •  

  •  

  •  

  •  

  •  

  •  

  •  
  • Pemikiran Valentinus  Saeng Tentang  Kebahagiaan 
  •  
  • 3.1. Sekilas  pemikiran Valentinus  Saeng  tentang  Manusia
  •  
  • Dalam artikelnya yang berjudul "Arti Kebahagiaan: Sebuah Tinjauan Filosofis"[12], Valentinus Saeng mendasari gagasannya tentang Kebahagiaan dengan melihat eksistensi manusia. Valentinus menggali pemikirannya dari berbagai jenis aliran filsafat, seperti; Materialisme Praktis, Rasionalis-Intelektualisme, Realisme dan Utilitarianisme. Aliran-aliran filsafat itu memiliki pendasarannya masing-masing dan berbeda tentang Kebahagiaan. Disinilah letak keunggulan Valentinus Saeng. Dia mampu dengan baik merangkai dengan indah tentang "Arti Kebahagiaan". Sehingga akhirnya dia menarik sebuah benang merah, bahwa secara eksistensial, manusia selalu dalam dirinya ingin menggapai kebahagiaan. Manusia selalu merindukan dan mendambakan kebahagiaan di dalam hidupnya. Itulah ciri kodrati asali dari manusia itu sendiri. Hal ini tidak dapat disangkal lagi, sebab demikianlah kebenaranya.
  •  
  •  
  •  
  • 3.2. Kebahagiaan Menurut Valentinus Saeng
  •  
  • Materialisme Praktis

 

Mengikuti gagasan kaum materialis, Epikuros dan Eristipos, Valentinus menegaskan bahwa, "materialis praktis adalah sebuah sistem berpikir yang sangat berpengaruh dalam kehidupan umat manusia sejak jaman Yunani klasik sampai pada peradaban post modern.[13]  Landasan pemikirannya, bahwa seluruh realitas alam semesta adalah realitas ada materil yang telah ada sedemikian rupa sejak dari keabadian.[14] Itu berarti, hakekat dari alam semesta adalah material. Ia lahir dan terbentuk dari materi. "Hal ini dipertegas lagi dengan konsep Aristotelian-Tomistik (materi-forma, aktus-potensi, essensi-eksistensi) yang melihat realitas semesta alam sebagai benda-benda majemuk atau kompesisional dan benda-benda sederhana. Benda-benda kompesisional adalah realitas alam semesta yang tunduk pada hukum kelahiran dan kehancuran, yang disebut dengan prinsip perubahan. Sementara benda-benda sederhana adalah realitas essensial yang menjadi syarat bagi realitas kompesisional".[15]

 

Berdasarkan alur pemikiran kaum materialis, maka dapat dikatakan "bahwa alam semesta merupakan kumpulan atom-atom yang terus bergerak dan mengalami tubrukan, agresi dan digresi. Jadi, alam semesta bergerak bukan karena ada penggerak pertama, atau dalam bahasa Platonium disebut Demiurgus atau Aktus Purus dalam bahasa Aristotelian dan atau Rasio trasenden apapun.[16] Secara singkat dapat dikatakan, realitas alam semesta berasal dari atom-atom yang bersifat material[17] dan terus bergerak dan berubah. Pergerakan atom-atom merupakan perpaduan dan perceraian yang tidak terkira dalam ruang dan waktu yang tidak berhingga. Atom-atom itu bergerak tanpa digerakan oleh apapun (motoris immobilis).

 

Demikian halnya dengan manusia. "Manusia dan jiwanya terbentuk dari agresi atom-atom badan dan atom-atom jiwa yang berciri material. Jadi, manusia adalah makluk material".[18] Dari logika ini, maka Valentinus mengatakan: 

 

 

Ketika hakekat manusia berciri material, maka kebaikan khas yang ingin diperolehnya dan diwudjudkan manusia dalam hidupnya secara niscaya bersifat material pula. Manusia sama seperti makluk lain bersifat instingtif menginginkan kesenangan dan menghindari kesakitan yang merupakan dua perasaan dasariah yang menjadi sarana untuk menemukan apa yang menjadi nilai, arete dan finalitas dari pencarian hidup manusia".[19]

 

 

Hal ini mau menegaskan bahwa secara kodrati, manusia selalu ingin mengalami kesenangan dalam hidupnya dan sebisa mungkin menjauhkan penderitaan. Itulah keseluruhan dari pergerakannya di dunia ini. Kesenangan itu semacam kepenuhan dan pencarian hidup. Kesempurnaan hidup hanya mungkin, jika seorang manusia mencapai kesenanganya. Itulah kesempurnaan hidup menurut kaum materialis.

 

Kesenangan itu pada akhirnya hanyalah bersifat metarial dan sebatas kesenangan badan semata. Valentinus mengutip Epikuros,

 

 

Pengetahuan yang pasti tentang aneka hasrat menuntun setiap pilihan dan penolakan kesejahteraan badan dan ketenangan sempurna jiwa, karena itulah tugas hidup bahagia dan kepadanya kita arahkan setiap aksi guna menjauhkan diri dari penderitaan dan kegalauan.[20]

 

 

Atas dasar pemikiran ini, Valentinus melihat bahwa,

 

 

Manusia pada hakekatnya dibangun atas dua perasaan dasariah, yakni mengejar kesenangan dan menolak penderitaan. Begitu seseorang telah mengalami kesejahteraan badan dan ketentraman hati, terhindar dari segala jenis rasa sakit (aponia), kecemasan, ketakutan, dan kegalauan (ataraxi), maka ia merasa tercukupi dan tidak memerlukan yang lain lagi. Namun, ketika seorang sedang sakit, lapar dan haus, merasa terancam, gelisah dan cemas, maka ia merasakan betapa kesenangan dan ketenangan merupakan kebutuhan yang sangat bernilai dalam hidup dan aktivitasnya.[21]

 

 

Maka, benarlah jika manusia selalu merindukan kesenangan. Dalam kenyataan hidup sehari-hari manusia tampak tidak puas dengan apa yang diperolehnya. Ia selalu berusaha mengejar kesenangan-kesenangan yang dapat dinikmati oleh tubuhnya. Semua aktivitasnya terarah pada pemuasan, kenikmatan dan kesejahteraan tubuh semata. Baginya segala-galanya adalah untuk memuliakan tubuh agar terhindar dari segala penderitaan.

 

 

  • Rasionalis-intelektualisme
  •  
  • Menurut Valentinus, ada dua tokoh penting yang merintis aliran ini, yakni Socrates dan Platon.[22] Kedua tokoh ini memusatkan perhatiannya pada pertanyaan; siapakah manusia? Socrates dan Platon menjawab, manusia adalah jiwanya. Inilah elemen terdalam eksistensi manusia yang membedakan manusia dengan realitas di luar dirinya.[23] Jiwa yang dimaksudkan disini adalah jiwa rasional, subjek berpikir. Berziarah untuk sampai pada hakekatnya itu.

 

Jiwa manusia adalah subjek berpikir, aku sadar, tahu dan rasional. Oleh karena itu, manusia selalu berada dalam keingintahuan. Namun, kebahagiaan disini bukan kenikmatan atau kesenangan fisik. Sebab, menurut Socrates dan Platon yang fisik itu tidak asli dan dapat hancur. Maka, ketika berbicara mengenai kebahagiaan, yang dimaksudkan adalah kebahagiaan yang abadi dan tidak dapat hancur. Kebahagiaan Soctrates-Platon adalah kebahagiaan batin. Dan kebahagiaan batin itu tidak diperoleh dalam dunia ini, tetapi nanti. Maka apa yang dilakukan saat ini mesti terarah pada tujuan itu, yakni kebahagiaan batiniah. Ketika mencapai kebahagiaan itu, maka manusia sudah memaknai beingnya dengan baik. Ia sudah mewudjudkan eksistensinya sebagai makluk rasional jiwani.

 

  • Realisme
  •  
  • Valentinus mengatakan bahwa, "realisme merupakan aliran pemikiran yang berpendapat bahwa realitas berada secara objektif dan terlepas dari kemampuan subjek untuk mencerap, memikirkan dan mengolahnya. Tokoh utama dalam aliran ini adalah Aristoteles".[24] Menurut Aristoteles, seperti dijelaskan Valentinus bahwa untuk menjelaskan realitas tidak perlu mencari jawaban di luar yang di cermati, karena solusinya terdapat dalam dirinya.[25] Dari logika ini, pertanyaan mengenai siapakah manusia, akan terjawab, jika berhadapan dengan manusia itu sendiri. Dalam diri manusia pertanyaan itu menjadi berarti. Jika pertanyaan yang sama diajukan kepada Aristoteles, maka ia akan menjawab bahwa manusia intelektual, memiliki pancaindra dan fungsinya masing-masing.[26] Pancaindra ini turut mempengaruhi cara kerja intelektual, yang mengakibatkan berbagai macam reaksi. Inilah ciri utama yang membedakan manusia dengan makluk hidup lainnya. Eksistensi manusia sebagai makluk intelektual, menegaskan kesempurnaannya dari makluk-makluk yang lain. Maka, manusia dikatakan sebagai pusat yang melampaui makluk-makluk lain. Maksudnya, manusia selain memiliki kemampuan intelektual, juga memiliki kemampuan sebagaimana yang ada pada makluk yang tingkat bawah (tumbuh-tumbuhan) dan makluk tingkat instingtif (binatang-binatang).
  •  
  • "Dengan akal budinya manusia dapat mengontrol, mengatur, mengolah dan memaknai segala sesuatu yang ada di luar dirinya dan di dalam dirinya sendiri..."[27] Oleh karena itu, manusia mempunyai pengalaman tentang suatu hal. Pengalaman itu merupakan hasil kerja akal budi. Maka, ketika manusia mengalami rasa sakit atau senang, itu merupakan hasil penerapan dan olah akal budi. Pengalaman semacam ini sama sekali tidak terjadi pada tumbuh-tumbuhan dan binatang.  Melalui akal budinya manusia dapat membedakan apa yang baik bagi dirinya dan apa yang tidak baik, apa yang berguna dan apa yang tidak berguna. Maka, dia akan berbuat dan bertindak sesuai dengan tujuan tertentu. Valentinus, mengikuti gagasan Aristoteles menegaskan bahwa,
  •  

  •  
  • Setiap tindakan manusia selalu mengarah pada tujuan yang tepat dan tujuan yang demikian disebut kebaikan... Dalam kenyataannya terdapat sekian kebaikan yang menjadi tujuan dari setiap aksi, namun dari sekian kebaikan itu pasti ada kebaikan yang paling baik, yang tertinggi...suatu tujuan yang sempurna. Karena ada satu tujuan yang sempurna, maka tujuan yang demikian adalah kebaikan yang kita cari.[28]
  •  

  •  
  • Jadi, eksistensi manusia adalah mengejar tujuan yang sempurna, yaitu kebaikan terrtingi yang ada padanya manusia memperoleh kesejahteraan. Lalu apa kebaikan tertinggi itu? Menurut Aristoteles seperti yang dikutip Valentinus, kebaikan tertinggi adalah
  •  

  •  
  • Eudaimonia, felicitas, kebahagiaan... Sesuatu yang sempurna secara absolut merupakan sesuatu yang dapat dipilih untuk dirinya dan tidak pernah ada motif lain. Tujuan yang demikian adalah kebahagiaan. Kebahagiaan selalu kita pilih untuk diri kita sendiri dan bukan karena alasan lain. Sesuatu yang autosuficien merupakan sesuatu yang membuat kita hidup layak dipilih dan tidak diperlukan apapun lagi; dan sesuatu janis ini adalah kebahagiaan.[29]
  •  

  •  
  • Dalam arti ini, kebahagiaan adalah tujuan tertinggi atau sasaran tertinggi, sesuatu yang sempurna dalam peziarahan manusia. Selanjutnya Valentinus mendasarkan pemikirannya tentang kebahagiaan  dengan mengikuti logika Aristoteles, "bahwa kebahagiaan bertalian erat dengan karya khas manusia, yang menadakan, menaungi serta memuat kebaikan dan kesempurnaan."[30] Dari hasil pemikiran ini maka saya dapat menyimpulkan, bahwa manusia secara eksistensial selalu merindukan kebahagiaan. Kebahagiaan seperti apa? Apakah kebahagiaan itu identik dengan kekayaan, kekuasaan, kehormatan, kenikmatan ragawi? Tidak! "kebahagiaan itu tidak sama dengan kekuasaan, kehormatan, kekayaan, kenikmatan ragawi, karena itu bukan tujuan hidup manusia."[31] Kebahagiaan tidak bersifat artifisial. Kebahagiaan hanya bisa ditemukan dalam aktivitas keutamaan dan kontemplatif. Namun, aktivitas tidak pernah selesai, melainkan terus berkelanjutan, bersifat stabil. Hanya dengan ini manusia bisa menggapai tujuan hidupnya, yaitu kebahagiaan sejati. Maka, kebahagiaan itu imanen dalam diri manusia bahkan bisa identik dengan kehidupan manusia itu sendiri. 
  •  
  • Valentinus menegaskan bahwa arti kebahagiaan akan sangat nampak dalam pemikiran Thomas Aquinas. Thomas Aquinas mengatakan "bahwa kebahagiaan itu tidak hanya bersifat imanen tetapi juga trasenden. Kebahagiaan yang trasenden adalah kebahagiaan yang sejati dan abadi. Kebahagiaan sejati ada dalam Allah dan kebahagiaan sejati itu adalah Allah sendiri.[32] Dari alur pemikiran ini dapat dikatakan bahwa eksistensi manusia adalah mengejar kebahagiaan. Kebahagiaan itu menyatu dengan dirinya, namun, untuk memperolehnya tidak sekali jadi, melainkan melalui aktivitas yang terus menerus mendatangkan keutamaan dan bersifat stabil. Karena itu, manusia tidak boleh melewati satu kesempatan dari aktivitas itu. Dan kepenuhan dari semua pengajaran atau aktivitas itu hanya dalam Allah. Karena dialah kebahagiaan sejati yang di dalam-Nya sudah selesai, aku telah menemukan-Nya. 
  •  

  •  
  • Utilitarianisme
  •  
  • Menurut Valentinus, aliran utilitarianisme (Jeremy Betham dan John Stuart Mill) menempatkan kebahagiaan sebagai barometer untuk menilai institusi sosial, perangkat etis dan yuridis yang berlaku dalam suatu kelompok sosial.[33] Menurut Valentinus inti dari pemikiran kaum utilitarinisme adalah "mereformasi masyarakat dengan mengajak semua orang  untuk keluar dari status quo dan bersikap kritis terhadap institusi sosial dan semua sistem sosial yang menganimasi hidup bersama."[34] Inilah konteks pemahaman kaum utilitarianisme. Jadi,
  •  

  •  
  • Tokoh kunci dalam mereformasi masyarakat adalah manusia sebagai pelaku baik dari rangkaian tindakan yang dilakukan. Sebagai pelaku, seorang dapat melakukan tindakan yang baik dan terpuji atau yang buruk dan tercela. Jadi, perhatian utama utiltarianisme bukan terletak pada hasil akhir dari suatu tindakan, misalkan memberi kesenangan atau memberi rasa sakit, melainkan rangkaian aksi dilaksanakan menurut faedah-faedah etis-moral yang bersifat objektif.[35]
  •  

  •  
  • Berdasarkan gagasan di atas, maka kebahagiaan sebagai alat ukur diletakan sebagai prinsip etis-moral. Sehingga, setiap tindakan yang dilakukan harus sesuai dengan prinsip itu.  Jika suatu perbuatan melawan atau melanggar prinsip itu, maka kebahagiaan tidak nampak di sana. Maka, kebahagiaan adalah landasan bagi terjaminya hidup manusia. Kebahagiaan menjadi prinsip bersama dalam kehidupan bermasyarakat. Seorang pemimpin harus mampu membahagiakan rakyatnya dengan menjamin segala haknya, menciptakan kesejahteraan sosial, perdamaian dan ketentraman. Maka, segala peraturan dan hukum dibuat untuk tujuan itu, bukan menindas dan menyengsarakan kehidupan rakyatnya. Jadi, kebahagiaan di sini identik dengan etika dan moral dalam menjalankan hidup bersama.
  •  

  •  
  • Penutup 

 

Dibagian penutup ini saya membuat sebuah kesimpulan tentang perbadingan pemikiran Armada Riyanto dan Valentinus Saeng tentang kebahagiaan. Maka, di bagian ini saya tidak mencantumkan catatan kaki. Sebab, catatan kaki sudah ada dalam pemikiran kedua filosof ini sebelumnya. Di bagian ini, saya melihat ada kesinambungan dari pemikiran kedua filosof ini. Meskipun paradigma mereka sedikit berbeda, dimana Armada Riyanto lebih menekankan fenomenologis, sedangkan, Valentinus Saeng lebih pada pola pememikiran eksistensialisme. Pada dasarnya kedua filosof ini mengurai lebih mendalam tentang makna Kebahagiaan. Dengan mengambil pemikiran para filosof untuk mendukung gagasan mereka seturut penekanannya masing-masing. Mengikuti aliran materialisme, Valentinus Saeng, melihat manusia sebagai eksistensi yang mengejar kebahagiaan fisik semata. Sedangkan, Armada Riyanto, melihat bahwa situasi yang demikian adalah pengalaman yang sangat tidakmembahagiakan. Sebab, manusia memiliki sifat tidak pernah puas dalam dirinya. Maka, ada banyak orang yang secara fisik terpenuhi, tapi tidak pernah bahagia. Selanjutnya, Valentinus mengikuti pemikiran Socrates-Platonian, bahwa manusia adalah jiwanya, yakni jiwa rasional. Valentinus memaknai manusia sebagai eksistensi berjiwa intelek. Sedangkan, bagi Armada Riyanto, kebahagiaan itu terjadi dalam kehidupan sehari-hari, bukan persoalan nanti.

 

Akhirnya, kebahagiaan itu berhubungan langsung dengan Lyan. Baik, Valentinus maupun Armada hampir menyetujui hal ini. Kebahagiaan itu harus mengenai keterjaminan hidup satu dengan lainnya. Sebab, semua manusia itu memiliki martabat yang satu dan sama. Maka, harus dihargai dan dihormati. Jadi, dari uraian kedua filosof ini membuka cara pandang baru bagi saya tentang Beingku. Kebahagiaan itu akan menjadi Beingku apabila kebahagiaan itu milikku dalam kehidupan sehari-hari dan selalu berhubungan dengan akvitas peziarahanku. Akhirnya, kabahagiaan itu membuat saya mampu menghormati dan menghargai sesamaku, man of others, yang berada pada jalan peziarahan yang sama untuk mengejar kebahagiaan. Itulah Beingku. 

 

 

Daftar pustaka

 

 

Riyanto, Armada. CM. MENJADI-MENCINTAI: Berfilsafat Teologi sehari-hari. Yogyakarta:  Kanisius, 2013

 

 

Tinambunan. R. T. Edison, Bala. Kristoforus (Eds). Dimana Letak Kebahagiaan. VOL. 24 NO. SERI 23. 2014. Malang: STFT Widya Sasana, 2014.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun