Mohon tunggu...
Didin Zainudin
Didin Zainudin Mohon Tunggu... Freelancer - Didin manusia biasa yang maunya berkarya yang gak biasa.

mencoba memberi manfaat dan inspirasi bagi kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ke Dalam Baduy Dalam

17 Maret 2021   19:21 Diperbarui: 17 Maret 2021   19:27 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setelah berjalan cukup panjang, sampailah kita di Gajeboh. Kampung dengan pemisah jembatan bambu yang cukup besar. Disinilah para wisatawan, traveler biasanya istirahat. Orang bisa bebersih di sungai. Makan siang buat yang bawa bekal. Tapi jangan khawatir disini banyak pedagang makanan, souvenir, oleh-oleh dan lain-lain. Sebagian dari kami ada yang sholat dhuhur (karena sudah jam 2 lewat), ada pula yang pilih makan siang dulu. Karena sebagaian dari teman kami memang perutnya punya tuntutan lebih. Setelah puas istirahat dan foto-fotoan perjalanan dilanjutkan.

Perjalanan melewati tanjakan, turunan, menyebrangi jembatan sungai, terus silih berganti. Hingga kita tiba di sebuah jembatan bambu, yang tidak bernama, yang menandakan perbatasan badui luar dan badui dalam. Mulai dari titik itu, handphone, kamera dilarang digunakan. Sudah aturan adat. Dan semua orang tanpa kecuali harus taat. Takutnya kalau dilanggar akan kualat. Kami mengira perjalanan menuju badui dalam sudah dekat. Wooww ternyata, masih jauh. Masih menanjak, menurun, menanjak lagi. Bikin kita frustasi, karena gak sampai-sampai. Beda dengan mendaki gunung. Yang biasanya jalurnya menanjak tapi landai dan biasanya cuacanya sejuk. Tapi di Badui dalam sudah banyak tanjakan cuacanya gak sejuk. Jadi cukup menguras stamina.

Untung ada hiburan yang menyenangkan. Di tengah jalan kita bertemu anak kecil yang memikul durian yang baru dipetik dari hutan. Lewat perantara Aldi, kami membeli durian itu. Jadi kita ramai-ramai menyantap durian. Manis dan tebal. Enaknya melebihi durian Medan atau montong. Mungkin kombinasi keduanya. Entah karena kita sedang kelaparan dan kelelahan, rasa durian itu jadi yang terbaik.  Stamina kembali pulih.

Akhirnya kita tiba di perkampungan Badui Dalam. Letaknya di lembah. Di pinggirnya sungai mengalir. Sayang kita gak bisa foto. Perkampungan rumah panggung dengan bangunan kayu, mirip bangunan di badui luar. Suasananya tenang. Ayam-ayam berkeliaran. Kami menginap di rumah Aldi. Hari sudah jelang sore. Sekitar jam 5. Kami ber delapan memasuki rumah Aldi. Istri dan 2 anak Aldi menyambut dengan biasa. Mereka malu-malu menerima tamu. Rumahnya agak gelap. Karena memang minim ventilasi. Kami bebersih di sungai. Mandi dan gosok gigi. Mandi dilarang pakai sabun. Gosok gigi dilarang pakai pasta gigi. Yah, terima aja apa adanya. Sesekali menikmati gaya hidup Badui dalam.

Malam hari, penerangan hanya seperlunya. Menggunakan lampu minyak kelapa. Kami makan malam dengan cahaya temaram. Masakan sudah kita siapkan saat kita masih di Rangkas Bitung tadi. Aldi hanya tinggal menghangatkan dan memasak nasi. Oh ya mereka itu memang sepertinya tidak pandai memasak atau mengolah masakan. Terbukti ketika membuat telor dadar, agak aneh jadinya. Mungkin karena rasanya agak tawar. Atau karena mereka tidak banyak menggunakan garam apalagi mecin. Bentuknya telor dadarnya mirip scramble tapi dengan gumpalan lebih besar-besar. Sekali lagi kita terima aja. Menikmati apa yang dihidangkan. Enaknya kalau lapar dan kecapekan, semua makanan jadi enak. Tempat minum orang Badui dalam dari potongan bambu. Mereka mengumpulkan air dari sungai di wadah bambu sepanjang kurang lebih 1 meter. Air-air itu diletakkan di depan rumah. Air untuk keperluan memasak dan minum mereka. Sungai mereka nyaris tidak tercemar bahan-bahan plastik, deterjen atau bahan kimia sejenis.  Kami mandi buang hajat besar di sungai yang sama. Hanya untuk buang hajat besar di bedakan tempatnya dari tempat mandi. Disini memang dilarang jijik. Khusus buat cewek ada tempat tersendiri untuk mandinya. Tempatnya agak tersembunyi.

Malam itu kita tidur di ruang keluarga (tamu). Lantai nya dari bambu. Beralaskan tikar pandan dan berbantal karung plastik bekas beras yang entah isinya apa. Bukan kain perca, mirip daun-daunan atau sabut kelapa mungkin. Ruangan hampir gelap gulita, untung kita bawa lampu kemping ukuran kecil. Cukup memberi cahaya temaram, di ruangan kita. Supaya gak buta-buta amat, kalau pas malam-malam ke bangun. Tapi kelelahan membuat kami tertidur nyenyak hingga subuh.


 

Orang-orang Badui Dalam terbiasa jalan kaki. Dari orang tua maupun anak-anak. Buat mereka jalan kaki tujuh kilometer dengan medan naik turun bukit adalah hal biasa. Anehnya, eh bukan, bagusnya mereka keringatnya gak beraroma (bau). Anehnya mereka biarpun jalan berkilo-kilo gak ada napas ngos-ngosan. Mereka terlatih jalan kaki sejak usia 3 tahun. Anak nya Aldi tiap hari ke ladang bersama ibunya. Tiap kepala keluarga di badui Dalam punya ladang masing-masing. Setiap hari mereka berladang. Istri Aldi menggendong bayinya yang masih usia 1 tahun. Kakaknya yang 3 tahun jalan di samping ibunya. Mereka jalan kaki naik turun bukit, di jalan berbatu, tanah, rumput mereka jalani dengan biasa saja. Kebetulan kita berbarengan dengan mereka ketika kita arah pulang. Anak Aldi yang masih 3 tahun jalan dengan riang menemani ibunya. Ini yang namanya jalani hidup ala Badui Dalam.

Orang Badui Dalam, sederhana gaya hidupnya. Setiap hari berladang. Cari bekal buat makan dari alam. Entah itu buah, umbi-umbian, beras, kelapa dan lain-lain. Mereka mengelola ladang mereka sendiri. Mereka menjalani hidup dengan santai. Gak ada yang tergesa-gesa. Semua mengikuti ritme alam. Mereka benar-benar menikmati hidup. Bahkan hidup sehat. Setiap hari olah raga. Minimal 1 jam jalan kaki. Cuma mereka gak butuh jersey yang aneh-aneh. Bajunya ya baju sederhana, kain belacu hitam atau putih, dengan ikat kepala kain. Napas mereka bagus. Kesehatan mereka bugar. Makanya gak salah jika Covid 19 gak sempat mampir di kampung Badui. Mungkin Covid 19 sempat datang oleh pendatang. Tapi Covid 19 gak sanggup menantang para kaum Badui Dalam yang staminanya garang.

(Catatan perjalanan ke Badui Dalam sebelum Covid 19 datang. Tepatnya awal Februari 2020).

Depok, 17 maret 2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun