Mohon tunggu...
din saja
din saja Mohon Tunggu... profesional -

Padang menjadi kota penting dalam awal kehidupan seni din saja yang bernama asli Fachruddin Basyar. Lelaki kelahiran Banda Aceh (31 Januari 1959), yang mencukupkan masa pendidikan di sekolah menengah ini, mengenali seni dalam tahun 1980. Selama di Padang, menurut catatannya, din saja termasuk aktif berkiprah sebagai pekerja teater. Dia membentuk Teater Moeka Padang bersama sejawatnya Rizal Tanjung. Dengan itu dia mementaskan Oedipus Rex (Sophocles), Malin Kundang (Wisran Hadi), Isa AS (teater tanpa kata), Malam Terakhir (Yukio Mishima), Bantal (adaptasi A.Alin De), naskah-naskah perjuangan serta pementasan puisi. Dari data itu saja telah menunjukkan produktivitas diri din saja sebagai pekerja seni. Selama di Padang puisi-puisi din saja di publikasikan di koran Singgalang, Haluan, Semangan dan SKM Canang. Selama di Banda Aceh sering dipublikasikan di Serambi Indonesia. Setelah berjalan ke Palembang, Jakarta, Bandung dan Medan, din saja kembali lagi ke Banda Aceh (1988). Di Aceh pun din saja menunjukkan vitalitasnya sebagai seniman. Tetapi din saja meyakini dirinya sebagai penyair barulah dalam tahun 1990. berarti din saja menggunakan masa tempaan yang cukup lama. Begitupun ada puisi-puisinya yang diciptakan sebelum 1990 telah diantologi-bersamakan seperti pada Sang Penyair (ed.Isbedy Stiawan ZS, 1985) dan KSA3 (TBA/KSA, 1990). Dalam 1993 ada empat antologi puisi yang memuat puisi-puisi din saja yaitu Nafas Tanah Rencong (DKA), Banda Aceh (DCP Production), Lambaian (Deptrans Aceh) dan Sosok (LSA). Pada tahun 1995 terbit antologi pertama din saja berjudul Sirath (LSA). Setelah itu puisi-puisi din saja terdapat pada antologi Seulawah, Setengah Abad Indonesia Merdeka (TB Solo) serta beberapa antologi lainnya. Di Banda Aceh din saja membentuk Teater Alam dan Lembaga Seni Aceh (LSA). din saja juga aktif sebagai anggota Dewan Kesenian Aceh (DKA), Lembaga Penulis Aceh (Lempa). Pada tahun 1993 din saja menemukan jodoh seorang wanita Aceh bernama Cut Sayuniar. Dari perkawinannya itu din saja memperoleh 8 orang anak, 1 orang meninggal dunia. Selama di Banda Aceh, din saja bersama Teater Alam juga mementaskan drama dan pertunjukan puisi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seniman Aceh Dalam UUPA

10 Maret 2014   21:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:05 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No. 11 Tahun 2006 pada Bab XXXI, Pasal 221 tertulis “Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota melindungi, membina dan mengembangkan kebudayaan dan kesenian Aceh yang berlandaskan nilai Islam”, ayat (1). Untuk itu “Dalam pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota mengikutsertakan masyarakat dan lembaga sosial” ayat (2). Bahkan juga “Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota, mengakui, menghormati dan melindungi warisan budaya dan seni kelompok etnik di Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan” ayat (2). Termasuk “Bahasa daerah diajarkan dalam pendidikan sekolah sebagai muatan lokal” ayat (4), dan “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewenangan Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan qanun” ayat (5).

Tafsir Pasal 221

Kebudayaan jelas berarti sebuah sikap hidup dari setiap orang. Masing-masing manusia memiliki sikap hidup sendiri-sendiri, sesuai dengan daya nalar, wawasan, pengetahuan dan keimanan yang ada padanya. Bagi orang Aceh yang lahir dari sebuah kebudayaan, tentu nilai-nilai yang terkandung didalamnya telah menjadi semacam ideologi dalam jiwanya. Nilai-nilai kebudayaan Aceh berasal dari nilai-nilai keislaman. Dan ini artinya sikap hidup orang-orang Aceh adalah mentauhidkan Allah. Semua berasal dan menuju kepada Allah. Oleh karenanya kebudayaan Aceh merupakan sikap hidup orang-orang Aceh yang mengesakan Allah.

Sementara kesenian merupakan produk dari seseorang. Orang itu disebut seniman. Kesenian Aceh adalah hasil dari daya nalar, wawasan, pengetahuan dan keimanan yang diproses secara kreatif oleh seniman Aceh. Lahirlah berbagai bentuk/jenis kesenian Aceh seperti hikayat, seudati, tari-tarian, musik rapa’i, serune kalee, biola Aceh, ukir-ukiran, berbagai bentuk motif, disain grafis, dangderia. Kesenian-kesenian itu telah lama ada dan dia diciptakan oleh seniman-seniman Aceh.

Bagaimana yang dimaksud dengan kesenian Aceh yang berlandaskan nilai Islam. Apakah dia hanya mengacu pada bentuk-bentuk keseniannya saja? Ataukah juga pada tataran substansial seperti tidak diperbolehkan apabila sebuah karya seni memahami filsafat eksistensialisme, komunisme, nihilisme, dsb. Berangkat dari pemahaman bahwa kebudayaan Aceh merupakan sikap hidup orang-orang Aceh yang mengesakan Allah, sudah pasti kesenian Aceh adalah karya cipta seni yang mengandung nilai-nilai ketauhidan. Dan oleh karena orang-orang Aceh memeluk agama Islam, sebagai satu-satunya agama, tentu tauhid dimaksud sebagaimana pengesaan Allah dalam pemahaman Islam. Sebab, setiap agama juga punya sikap pengesaan kepada Sang Pencipta.

Apabila kesenian Aceh hanya dinilai dari sudut keislaman, tentu semua bentuk kesenian yang berlandaskan nilai-nilai Islam dapat disebut sebagai kesenian Aceh. Tapi apakah hal itu dapat dibenarkan? Apakah pendapat seperti ini bisa diterima? Tentu kedua pertanyaan itu dapat kita bantah. Karena, karya seni merupakan produk sebuah kebudayaan dari sebuah etnik. Etnik Aceh yang membentuk menjadi sebuah kebudayaan Aceh, melahirkan karya seni keacehan.

Tapi masalahnya Aceh terdiri dari berbagai suku yang berbeda kebudayaan dan keseniannya. Secara politik Aceh terdiri dari berbagai suku dan “merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat” (Bab I/Pasal 1/UUPA).

Oleh karena Aceh disepakati terdiri dari beragam suku, tentu kebudayaan dan bentuk-bentuk keseniannya berbeda pula. Namun, apakah keragaman budaya dan kesenian yang telah dipersatukan itu lantas disebut sebagai kebudayaan dan kesenian Aceh? Selama ini beragam kebudayaan dan kesenian itu dipahami dengan sebuah nama yakni Aceh. Kebudayaan dan kesenian yang beragam itu disebut saja sebagai kebudayaan dan kesenian Aceh.

Pemahaman seperti ini dipengaruhi oleh pemahaman secara politik dan hukum. Berbagai suku yang tersebar di wilayah politik dan hukum Aceh otomatis disebut sebagai kebudayaan dan kesenian Aceh. Pemahaman seperti ini tidak menjadi permasalahan, karena masyarakat Aceh tidak mempersoalkannya. Tetapi, penamaan yang seragam itu sebenarnya dapat merugikan identitas kebudayaan dan kesenian yang berbeda dan memiliki ciri khas tersendiri. Lebih terhormat bila kita mengembalikan penamaan itu sesuai dengan latar belakang dari masing-masing kebudayaan dan kesenian yang ada. Untuk penamaan kebudayaan kita sebut saja dia sebagai kebudayaan Aceh, Gayo/Alas, Kluet, Jamee, dsb. Sementara untuk penamaan kesenian sudah sesuai dengan nama dari masing-masing bentuk kesenian itu sendiri.

Mengapa untuk penamaan terhadap kebudayaan itu dikembalikan pada identitas semula? Karena hakekat sebuah kebudayaan merupakan kesepakatan bersama dari kaum/suku itu sendiri, baik berdasarkan garis keturunan/asal-usul, bahasa, adat. Sehingga antara satu dengan suku lainnya terdapat perbedaan yang nyata. Inilah identitas yang semestinya kita hormati. Dia telah ada sebelum kesepakatan politik dan hukum itu lahir.

Apabila keseragaman penamaan disepakati karena alasan politik dan hukum, tentu saja hal itu perlu dipertimbangkan kembali. Kita tentu tidak ingin politik dan hukum dapat mengatasi kebudayaan dan kesenian, dan bahkan menjadi penguasa yang layak dituruti. Justeru sikap seperti ini tidak mencirikan sebuah peradaban yang tinggi dan terhormat. Kita tentu tidak ingin hidup ini diatur oleh kekuasaan pemikiran yang hanya mementingkan poitik semata.  Sama halnya ketika Indonesia dengan gagap menyebut semua identitas kebudayaan dan kesenian masing-masing daerah sebagai kebudayaan dan kesenian Indonesia. Dicarikan argumentasi agar penamaan itu dapat dianggap legal. Salah satunya adalah dengan menyatakan bahwa puncak-puncak kebudayaan dan kesenian daerah dapat disebut sebagai kebudayaan dan kesenian Indonesia. Sementara kita tidak pernah diberi pengetahuan mana yang dimaksud dengan puncak-puncak kebudayaan dan kesenian daerah itu.

Dengan semangat UUPA kita berharap kesalahan yang dilakukan Indonesia tidak terulang di Aceh. Untuk hal hukum dan politik kita sepakat beragam identitas yang ada ini disebut sebagai Aceh. Tapi untuk kebudayaan dan kesenian kembalikan saja penamaan itu pada masing-masing identitasnya. Karena memang nama itu telah lama ada. Dia sudah merupakan harga diri dan kebanggaan dari masing-masing warganya. Apabila kita ingin juga melahirkan sebuah kebudayaan yang bernama Aceh, mungkin dapat dimulai dengan sebuah penelitian, misalnya apakah tata cara perkawinan dari masing-masing identitas itu, terutama yang prinsip dan nilainya sama, dapat dipersatukan dan menjadi sebuah nama yakni Aceh?

Kalau kita analisa maksud dari “melindungi, membina dan mengembangkan”, yang sangat mencemaskan bukan pada “melindungi, membina”, tapi pada persoalan “mengembangkan”. Kalau “melindungi, membina” itu memang merupakan “kewajiban” pemerintah, apalagi bila pemerintah sendiri berkenan mengambil peran tersebut. Karena bagaimanapun pemerintah berkewajiban “melindungi, membina” kehidupan yang berada dalam wilayah tanggungjawabnya.

Perlindungan tidak hanya terbatas pada pengakuan sebagai sesuatu yang ada dan hidup dalam masyarakat, juga sekaligus memberi perhatian secara sungguh-sungguh dalam bentuk alokasi anggaran. Sebagaimana terjadi selama lebih 30 tahun belakangan ini. Semua alokasi anggaran kesenian hanya diperuntukkan bagi kesenian tanpa memperhitungkan seniman sebagai pencipta. Perlindungan dan pembinaan yang dipakai jadi acuan pemerintah tehadap kesenian, melahirkan pemahaman bahwa pemerintah betindak sebagai penyedia dana dan sekaligus sebagai pelaksana progam.

Akibatnya nilai-nilai kesenian tidak terlindungi secara benar. Banyak karya seni tradisional Aceh menjadi tidak jelas keasliannya. Kalau kita simak isi pasal 221 di atas, tidak ada kalimat yang menyebutkan tentang seniman. Ini artinya pemerintah  bertugas dan bertanggungjawab hanya semata tehadap kesenian, tetapi bukan pada seniman. Lalu apa yang salah, kalau memang ada yang salah, dari pasal 221 ini?

Sebenarnya tidak ada yang salah dalam hal ini. Hanya saja kita khawatir akan terjadi kesalahpemahaman, terutama sekali bagi aparatur Pemerintah Aceh,  dalam melaksanakan tugas-tugasnya ketika qanun untuk itu telah disahkan. Sebelum UUPA ada, pemahaman pemerintah terhadap kesenian tidak berbeda dengan apa yang dimaksudkan dalam UUPA sekarang ini. Kalau dulu pemerintah hanya bertanggungjawab dalam melindungi, membina dan mengembangkan kesenian,  begitu pula halnya untuk saat ini.

Pengalaman yang lalu, pemerintah benar-benar menjalankan amanahnya terhadap kesenian. Berbagai program kesenian dirancang dengan alokasi dana yang cukup lumayan besarannya. Katakanlah setiap tahunnya pemerintah mengalokasikan anggaran untuk kesenian sebesar Rp. 5 Milyar. Berarti selama kurun waktu 15 tahun belakangan, pemerintah telah menghabiskan Rp. 75 Milyar. Ini baru alokasi biaya dari pemda NAD, belum lagi anggaran yang tersedia di kabupaten/kota. Bahkan alokasi anggaran untuk kesenian tidak hanya pada dinas terkait, namun juga tedapat pada dinas-dinas lainnya.  Dari sekian banyak anggaran yang disediakan itu, kita lihat bagaimana perkembangan kesenian Aceh. Apakah telah menampakkan indikator keberhasilan. Apakah kesenian tradisional Aceh telah terpelihara dengan baik dan bena? Apakah juga kesenian modern Aceh telah menunjukkan adanya karya-karya seni yang bernilai?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun