***
Pukul 20.03 WIB, malam Seluruh ruangan dalam rumah tampak gelap, Aku pun keluar mencari secercah cahaya dan kudapan yang beterbangan di sekitarnya. Hanya ada satu sumber cahaya dari sebuah batang bersumbu yang diletakkan di tengah ruangan. Ya, di tengah ruangan tempat berkumpulnya Ayah, Ibu dan putri semata wayangnya. Mendekat? Tidak mungkin, aku tidak punya nyali sebesar itu untuk menghampiri mereka. Lalu aku kembali menyelinap, merayap, membidik si empunya sepasang sayap yang terus bergetar. Sambil mendengarkan percakapan mereka yang kira-kira begini: "Ah, mati lampunya lama sekali. Padahal aku harus belajar untuk UTS besok" "Sudah, kamu tidak usah marah-marah. Sudah tahu mati lampu, dingin dan banyak nyamuk, bikin tambah gatal saja" "Hah, Bapak sendiri sejak tadi ngedumel terus" "Ini kan gara-gara kamu! Makanya jangan berisik" "Okeeeey, sekarang siapa yang mau teh hangat? Ini Ibu sudah siapkan ubi rebusnya juga" "Asik, Ibu memang paling T-O-P" "Terimakasih istriku, oya katanya Ibu punya kabar gembira, apa itu?" "Oh iya, begini, Bapak, Dinda, Alhamdulillah Ibu diberi kepercayaan memegang tata usaha di TK, otomatis ada tunjangan juga disamping gaji ibu sebagai guru honorer. Mudah-mudahan bisa membantu Dinda membeli printer baru, atau meringankan beban Bapak dalam memenuhi kebutuhan kami ......."
***
"Hap!" aku kembali berkonsentrasi pada kudapan asikku. Puluhan semut hitam berbaris, merayap di tembok putih di sudut ruangan. Aku mencoba menangkapnya satu demi satu bersama Cici, cicak betina temanku yang pernah kuceritakan. "semut hitam itu rasanya pedas ya," Cici membuka percakapan. "Manis kok," timpalku singkat sambil tersenyum sesaat dan kembali sibuk dengan barisan hitam di atas putih itu.