Mohon tunggu...
Dinda AyuMaharani
Dinda AyuMaharani Mohon Tunggu... Highly motivated and Hard working

Penulis || Pendengar || Pembaca Finde me at : www.linkedin.com/in/dindaayumaharani

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Di Balik Jas dan Seragam: Terlupakannya Etika dalam Derasnya Ambisi dan Kompetisi

15 Juli 2025   19:00 Diperbarui: 15 Juli 2025   19:00 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada masa sekarang, ketika kebebasan berekspresi menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, berbagai profesi dihadapkan pada tantangan serius dalam menjaga martabat dan kehormatan profesinya. Banyak individu dari berbagai latar belakang pekerjaan yang mulai mengabaikan pedoman moral dan prinsip profesionalitas, sehingga terjadi peningkatan pelanggaran terhadap kode etik profesi. Hal ini tidak hanya mencerminkan lemahnya pengawasan, tetapi juga menunjukkan bahwa nilai-nilai dasar seperti kejujuran, tanggung jawab, dan integritas belum sepenuhnya menjadi bagian dari kesadaran profesional. Pelanggaran tersebut sering kali dilakukan secara sadar demi mengejar kepentingan pribadi atau demi menyesuaikan diri dengan tekanan sosial dan budaya kerja yang semakin kompetitif. Kondisi ini menimbulkan keresahan karena masyarakat mulai kehilangan kepercayaan terhadap profesionalisme pelaku profesi.

Profesi seharusnya tidak hanya dilihat dari sisi keterampilan teknis semata, tetapi juga sebagai amanah sosial yang memerlukan komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dokter, guru, jurnalis, hakim, polisi, akuntan, dan berbagai profesi lainnya bekerja di bidang yang memengaruhi kehidupan orang banyak, sehingga tindakan yang tidak sesuai etika akan berdampak besar terhadap kualitas hidup masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang serius dalam memperkuat pemahaman dan penerapan kode etik di semua lini profesi. Tidak cukup hanya dengan mencantumkan aturan dalam buku panduan, tetapi harus ada sistem pendidikan dan pelatihan yang menyentuh kesadaran moral individu. Kode etik harus dihidupkan sebagai bagian dari tanggung jawab pribadi, bukan sekadar kewajiban administratif.

Upaya pencegahan pelanggaran kode etik harus dimulai sejak proses pendidikan dan pembentukan karakter profesional. Dalam jenjang pendidikan tinggi, mahasiswa calon profesional perlu dibekali dengan mata kuliah yang mengajarkan pentingnya integritas, empati, dan tanggung jawab sosial. Kurikulum yang mengutamakan etika tidak hanya mengajarkan teori, melainkan juga praktik nyata melalui simulasi kasus dan pembelajaran berbasis pengalaman. Kegiatan-kegiatan pembinaan karakter, diskusi nilai-nilai moral, serta refleksi diri menjadi elemen penting yang membantu menciptakan kesadaran batin. Dengan begitu, etika bukan sekadar pelengkap dari keahlian, tetapi menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas profesional seseorang.

Di samping itu, organisasi tempat seseorang bekerja memiliki peran besar dalam menjaga agar pelanggaran kode etik tidak terjadi. Lingkungan kerja yang sehat, transparan, dan mendukung sikap profesional akan mendorong individu untuk tetap berada dalam jalur yang benar. Ketika sebuah lembaga menghargai kejujuran dan memberi sanksi tegas terhadap pelanggaran, maka seluruh anggota organisasi akan memiliki rasa tanggung jawab yang lebih besar. Sistem evaluasi berkala, pelaporan yang adil, serta mekanisme penghargaan atas perilaku etis bisa menjadi bagian dari budaya organisasi. Tanpa dukungan institusional yang kuat, individu yang berniat baik pun dapat tergelincir oleh tekanan sistem atau pengaruh lingkungan negatif.

Selain dari sisi internal, masyarakat juga berperan sebagai pengawas alami terhadap perilaku profesi. Dalam masyarakat yang melek informasi, pelanggaran etika bisa segera terdeteksi dan mendapat respons luas dari publik. Media sosial dan teknologi informasi memberi ruang bagi masyarakat untuk bersuara dan menyampaikan kritik terhadap tindakan tidak etis yang dilakukan oleh para profesional. Oleh karena itu, membangun komunikasi yang terbuka antara pelaku profesi dan masyarakat menjadi penting agar tercipta hubungan yang sehat dan saling percaya. Profesional yang mampu menunjukkan komitmen terhadap etika akan mendapatkan penghormatan dan dukungan dari masyarakat.

Untuk menjaga agar pelanggaran kode etik tidak berulang, diperlukan pula sistem pelaporan dan perlindungan pelapor yang aman dan terjamin. Banyak kasus pelanggaran yang tidak terungkap karena orang takut berbicara atau tidak tahu ke mana harus melapor. Padahal, pelaporan adalah bagian penting dalam menjaga kehormatan profesi dan memastikan bahwa penyimpangan tidak menjadi budaya. Dengan adanya mekanisme pelaporan yang efektif dan perlindungan terhadap whistleblower, maka akan tercipta iklim keadilan di lingkungan kerja. Profesional akan merasa bahwa etika bukan sekadar slogan, melainkan prinsip yang dijaga bersama.

Pemerintah sebagai pemegang otoritas regulasi juga memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan kebijakan yang mendorong profesionalisme. Undang-undang atau aturan yang mengatur profesi tidak boleh hanya mengatur hal teknis, tetapi harus memuat ketentuan yang jelas mengenai pelanggaran etika dan sanksinya. Lembaga pengawas profesi yang dibentuk oleh negara atau organisasi independen harus diberi wewenang dan sumber daya yang memadai agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Tanpa dukungan kebijakan yang kuat, penegakan etika hanya akan berjalan setengah hati dan mudah dipolitisasi. Oleh karena itu, sinergi antara negara, organisasi profesi, lembaga pendidikan, dan masyarakat sangat diperlukan untuk menciptakan sistem yang adil dan etis.

Kemajuan teknologi informasi yang semakin pesat juga bisa menjadi alat bantu untuk memperkuat kesadaran etika profesional. Melalui platform digital, bisa dibuat sistem pelaporan yang cepat, aman, dan transparan, sehingga setiap individu memiliki kesempatan untuk melaporkan penyimpangan yang terjadi. Selain itu, teknologi juga dapat digunakan untuk menyelenggarakan pelatihan etika secara daring, menyebarluaskan informasi mengenai prinsip etika, dan membangun komunitas profesional yang saling mengingatkan. Namun, teknologi tetaplah alat, dan jika tidak diimbangi dengan kesadaran moral yang kuat, ia justru bisa menjadi sarana penyebaran penyimpangan. Oleh karena itu, literasi etika harus menjadi bagian penting dari literasi digital dalam kehidupan profesional. Dalam budaya kerja modern, tekanan untuk mengejar target, persaingan antar rekan, dan harapan yang tinggi dari atasan kadang membuat individu mengambil jalan pintas yang melanggar etika. Untuk menghindari hal tersebut, penting bagi pemimpin organisasi untuk menjadi teladan dalam hal integritas dan keadilan. Ketika pemimpin menunjukkan sikap yang jujur, terbuka, dan tidak memihak, maka seluruh anggota organisasi akan terdorong untuk melakukan hal yang sama. Kepemimpinan yang beretika menjadi fondasi utama dalam membangun budaya kerja yang sehat. Tanpa keteladanan dari pimpinan, kode etik hanya akan menjadi hiasan yang tidak memiliki daya pengikat.

Kebebasan yang dimiliki masyarakat dalam era sekarang seharusnya tidak diartikan sebagai kebebasan tanpa batas, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab. Setiap profesi memiliki aturan, nilai, dan norma yang harus dijaga sebagai bentuk penghormatan terhadap kepercayaan publik. Ketika seseorang bekerja dalam suatu profesi, ia tidak hanya membawa nama pribadi, tetapi juga membawa kehormatan profesinya dan tanggung jawab sosialnya. Pelanggaran terhadap etika berarti pengkhianatan terhadap kepercayaan yang telah diberikan oleh masyarakat. Maka dari itu, menanamkan kesadaran bahwa profesi adalah panggilan untuk melayani, bukan sekadar alat untuk mencari keuntungan, menjadi langkah penting untuk mencegah penyimpangan.

Akhirnya, menjaga agar tidak terjadi pelanggaran kode etik profesi adalah tugas bersama yang memerlukan partisipasi aktif dari semua pihak yang terlibat, baik dari individu pelaku profesi, organisasi tempat ia bekerja, lembaga pengawas, dunia pendidikan, pemerintah, maupun masyarakat secara umum. Etika tidak akan pernah hidup dalam ruang hampa; ia harus dihidupkan dalam praktik sehari-hari melalui keteladanan, ketegasan hukum, pendidikan yang berbasis nilai, serta sistem kerja yang adil dan manusiawi. Dengan begitu, profesi akan menjadi ladang pengabdian yang tidak hanya menghasilkan keuntungan material, tetapi juga menjadi tempat bertumbuhnya nilai-nilai luhur yang membangun peradaban. Jika seluruh elemen bangsa bersama-sama menjaga integritas dan kehormatan profesi, maka akan tercipta masyarakat yang lebih bermartabat, adil, dan sejahtera. Pelanggaran terhadap kode etik profesi tidak akan menjadi kebiasaan, melainkan akan dihadapi sebagai pengkhianatan terhadap nilai yang dijunjung tinggi oleh semua orang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun