Mohon tunggu...
Dina Y. Sulaeman
Dina Y. Sulaeman Mohon Tunggu... -

Penulis, alumnus Magister Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Direktur Indonesia Center for Middle East Studies www.ic-mes.org\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

Terungkapnya Jati Diri Para Aktor di Syria

22 Desember 2012   23:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:10 1271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dina Y. Sulaeman*

Konflik di Syria telah memasuki fase baru. Bila sebelumnya kaum oposisi ‘berjuang’ di bawah bendera Syrian National Council dan Free Syrian Army (FSA), kini masing-masing faksi di dalamnya mulai berpecah dan menampakkan ideologinya masing-masing. SNC dan FSA dibentuk di Turki. Di dalam FSA bernaung sebagian besar milisi (sebagian pihak menyebutnya ‘mujahidin’), termasuk Al Qaida. Mereka menjadikan Sheikh Adnan Al-Arour yang tinggal di Arab Saudi sebagai pemimpin spiritual. Dalam salah satu pidatonya yang bisa dilihat di You Tube, Al Arour menjanjikan bahwa bila pasukan mujahidin menang, kaum Alawi akan ‘dicincang lalu diberikan ke anjing’.

Kaum muslim ‘moderat’, dipimpin oleh Ikhwanul Muslimin, memilih untuk bergabung dalam National Coalition for Syrian Revolutionary and Opposition Forces yang baru dibentuk bulan November lalu di Doha, Qatar. Koalisi baru ini didukung oleh Qatar, Arab Saudi, AS, Inggris, dan Prancis. Negara-negara tersebut selama ini memang sudah membiayai, mengirimi senjata, dan memfasilitasi kedatangan pasukan ‘jihad’ dari berbagai negara Arab dan Libya untuk membantu FSA, namun kini secara terbuka telah menyatakan akan mengirim bantuan senjata kepada koalisi baru tersebut. Jadi, meskipun ‘moderat’, koalisi baru ini tetap akan angkat senjata melawan rezim Assad.

Kelompok-kelompok yang berhaluan Hizbut Tahrir (meski tidak mengatasnamakan diri Hizbut Tahrir, tetapi mendapat dukungan secara terbuka dari berbagai cabang HT di dunia, termasuk dari Indonesia), mengecam pembentukan koalisi baru tersebut. Kelompok ini, antara lain, Gabhat al Nousra, Ahrar Al Sham Kataeb, Liwaa al Tawhiid, dan Ahrar Souria memilih memisahkan diri dan mendeklarasikan perjuangan untuk membentuk khilafah di Syria.

Meski ‘bercerai-berai’, kelompok oposisi Syria memiliki suara dan tekad yang sama: menumbangkan “rezim Assad yang sesat dan kafir”. Mereka pun selama ini saling membantu dalam menciptakan opini publik: betapa kejam dan brutalnya rezim Assad dalam membantai rakyatnya sendiri. Semua ini mengaburkan fakta yang sebenarnya terang benderang: AS dan Israel ingin menggulingkan rezim Assad dan menggantikannya dengan rezim yang mau ‘mengamankan’ Israel. Konflik Syria-Israel adalah catatan sejarah yang panjang yang kini coba diabaikan dan ditutupi oleh isu perjuangan jihad melawan kaum ‘Alawi yang kafir’ itu.

AS dan sekutunya sebenarnya menggunakan skenario yang persis sama dengan Libya: dukung kelompok oposisi dengan persenjataan. Ketika pemerintah berusaha mengendalikan pemberontakan (lalu, apalagi yang harus dilakukan pemerintah menghadapi pemberontak? Apa yang harus dilakukan pemerintah Indonesia bila misalnya, tiba-tiba sekelompok gerilyawan di Jawa Barat angkat senjata dan ingin mengambil alih pemerintahan? Diam saja dan menyerahkan pemerintahan atas nama demokrasi?), kelompok oposisi pun berteriak meminta bantuan internasional (dengan nama indah: ‘humanitarian intervention’). Lalu, datanglah NATO membombardir Libya. Qaddafi tumbang, pemerintahan pun digantikan oleh tokoh-tokoh yang ‘lunak’ dan membiarkan semua proyek rekonstruksi dan eksplorasi minyak diambil oleh perusahaan-perusahaan Barat.

Inilah yang sedang terjadi di Syria. Awalnya, sejak Januari 2011, rakyat Syria diseru via facebook dan twitter untuk turun ke jalan. Ada aksi demo, tapi sangat tidak signifikan, apalagi bila dibandingkan dengan aksi demo di Kairo. Lalu, terjadilah tragedi Daraa, kota kecil berpenduduk 75.000 jiwa yang dekat perbatasan Jordania. Jurnalis independen Prancis, Thierry Meyssan sejak awal mengendus pemilihan Daraa sebagai titik awal gerakan bersenjata kaum oposisi karena mudahnya suplai senjata dan milisi jihad dari Jordan. Demo di Daraa terjadi tanggal 23 Maret 2011. Jumlah yang tewas adalah 7 polisi dan sedikitnya 4 demonstran. Adanya data bahwa polisi tewas dalam demonstrasi itu sangat penting karena ini menunjukkan bahwa ada tembak-menembak antara polisi dan demonstran. Artinya, demonstrasi saat itu bukanlah demonstrasi damai seperti diklaim media massa Barat. Selain itu, pemberitaan media (salah satunya, Aljazeera) juga menunjukkan bahwa markas kantor Partai Baath dan kantor pengadilan juga dirusak massa. Demonstrasi damaikah ini?

Berbeda dengan kondisi di Mesir dan Tunisia di mana aksi demo local memuncak menjadi demo nasional yang berpusat di ibu kota negara, justru menyusul tragedi di Daraa, muncul demo besar-besaran yang mendukung Assad. Demo itu terjadi di Damaskus, tanggal 26 Maret 2011. Kantor berita Reuters yang menyiarkan foto-fotonya, namun, tidak disebut-sebut dalam pemberitaan media-media mainstream. Televisi Syria menyiarkannya secara live. Rekaman aksi demo dengan jumlah massa yang sangat massif ini bisa didapatkan di You Tube.

Selanjutnya terjadi aksi-aksi kerusuhan bersenjata di berbagai tempat, dengan korban di dua pihak, polisi dan massa. Tapi, tentu saja, yang disebarluaskan media massa dunia dan media massa Islam yang berafiliasi dengan organisasi ‘mujahidin’ adalah rezim Assad melakukan kebrutalan terhadap rakyat. Fakta yang ditemukan jurnalis-jurnalis independen sejak awal, terkait suplai senjata dan pasukan dari negara-negara Arab, diabaikan begitu saja. Temuan para blogger tentang rekayasa foto-foto dan film yang disebarkan media massa juga dianggap sepi, padahal semua begitu jelas: gambar demo di Tunisia disebut demo di Syria, gambar demo pendukung Assad, disebut demo anti-Assad, gedung hancur di Palestina disebut gedung yang hancur di Syria; orang tewas berdarah-darah di Palestina disebut korban pembunuhan Assad; serangan brutal yang dilakukan mujahidin diklaim sebagai serangan tentara Assad, dan banyak lagi.

Dan tentu saja, sekali lagi, ketika pasukan mujahidin bersenjata sedemikian lengkap dan didukung pasukan jihad multinasional, lalu pemerintah melawan, pastilah ada korban di kedua pihak. Keduanya harus diekspos seimbang. Namun yang selalu diungkap oleh media mainstream dan yang berafiliasi dengannya adalah korban di pihak ‘mujahidin’. Untunglah, ada jurnalis-jurnalis independen dan citizen journalist yang dengan gigih melakukan pengimbangan berita.

Para pengamat politik yang concern pada masalah Syria akan sepakat bahwa Rezim Assad berideologi sosialis dan haluan pemerintahannya sangat sekuler. Rezim Assad jauh sekali dari definisi ‘pemerintahan berhaluan Alawi’. Tapi karena ‘kebetulan’ dia dan kalangan elit pemerintahnya bermazhab Alawi, isu Sunni-Syiah dijadikan pretext jihad. Mengingat 80% rakyat Syria adalah Sunni, tentu logikanya, mereka sangat kuat. Data-data menunjukkan bahwa mayoritas anggota militer Syria adalah Sunni, meski elitnya Alawi. Bila mayoritas mereka memang membenci Assad, sangat mudah menumbangkannya, sebagaimana tumbangnya para diktator lain: Syah Reza Pahlevi, Ben Ali, Mubarak. Tak perlu ada pasukan asing yang didatangkan dari berbagai penjuru Arab; tak perlu mengemis bantuan senjata dari luar; tak perlu menyebarkan isu mazhab; tak perlu berkoalisi dengan AS yang jelas-jelas sekutu Israel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun