Mohon tunggu...
Dina Y. Sulaeman
Dina Y. Sulaeman Mohon Tunggu... -

Penulis, alumnus Magister Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Direktur Indonesia Center for Middle East Studies www.ic-mes.org\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

Obama dan Hiperrealitas

19 November 2012   22:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:02 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Dina Y. Sulaeman

Pilpres Amerika Serikat tahun ini terasa kurang seru. Sangat Amerika. Obama meraih kemenangan dengan mendulang suara kaum perempuan yang pro pada kebijakannya soal aborsi; kaum muda dan gay yang lebih merasa cocok dengan nilai-nilai liberal yang diusung Obama, atau kaum Hispanik yang merasa terlindungi oleh kebijakan pro-imigran Obama. Bahkan kaum sosialis pun mendukungnya, dengan alasan kebijakan ekonomi Obama lebih sosialis, dibandingkan Romney yang sangat pro-kapitalis.

Bandingkan dengan pemilu 2008 yang sangat gegap gempita. Slogan Change dan Yes We Can menggema ke seluruh penjuru dunia. Saat itu pilpres AS seolah menjadi pilpres bagi dunia. Demam Obama melanda warga dunia. Kemenangan Obama disambut meriah, mulai dari Beijing hingga Khartoum. Belasan juta orang saling berjejaring di internet, membangun sesuatu yang disebut the power of we, kekuatan kita bersama, demi mendukung Obama. Massa di akar rumput secara sukarela menggalang aksi-aksi pengumpulan dana untuk disumbangkan kepada Obama dan terkumpullah 1,6 juta dollar. Obama menjadi representasi mereka yang tertindas, kaum pariah, dan umat yang mendambakan perubahan. Obama tampil bak Messiah, Sang Juru Selamat.

Belum lama gegap gempita itu berlalu, publik dunia yang mengikuti perkembangan politik luar negeri AS dan Timur Tengah pun kecewa. 53 hari setelah kemenangan Obama, Israel melancarkan operasi militer bersandi ‘Cast Lead’ [menuang timah] ke Jalur Gaza. Dalam serangan selama 22 hari itu, 1215 penduduk Gaza, termasuk perempuan dan anak-anak gugur syahid, dan 6000 orang terluka. Selama itu pula, Obama sama sekali tidak berkomentar. Padahal, 3000 orang telah berdemonstrasi di sekitar hotel Hay Adams, tempat Obama menginap selama menanti waktu pelantikan. Para demonstran meneriakkan seruan “Bebaskan Palestina!” Seorang demonstran ber-kafiyeh, Abdel Kadir Elkabil, berseru, “Please Mr. Obama, lakukan sesuatu. Kami mencintai Anda. Kami memilih Anda. Andalah satu-satunya yang bisa melakukan sesuatu.”

Sayang, harapan Elkabil tak terkabul. Hari kedua setelah resmi dilantik sebagai Presiden AS, Obama mengemukakan pendapatnya, “Biarkan saya jelaskan, Amerika berkomitmen pada keamanan Israel. Dan kita akan selalu mendukung hak Israel untuk membela dirinya di hadapan ancaman yang nyata. Selama bertahun-tahun Hamas telah meluncurkan ribuan roketkepada warga Israel yang tak berdosa.”

Kini, pasca pilpres 2012, sejarah seolah berulang. Hanya delapan hari setelah kemenangan Obama, Israel melancarkan operasi ‘Pillar of Cloud’ [Pilar Awan]. Gaza kembali dibombardir oleh Israel. Melalui juru bicaranya, Obama menyatakan bahwa ‘Israel berhak untuk membela diri’. Menanggapi kata-kata Obama ini, ada baiknya kita mengutip Noam Chomsky, “Ketika Israel di wilayah pendudukan mengklaim bahwa mereka harus membela diri, itu sama saja dengan mengatakan ‘penjajahmembela diridi hadapan rakyat yang mereka hancurkan’. ...Anda tidak bisa menggunakan kata ‘membela diri ketika Anda sedang menjajah tanahorang lain. Itu bukan pembelaan diri. Namailah dengan apa saja, asal bukan ‘membela diri’.”

Dukungan Obama terhadap perang tidak hanya untuk Israel. Dua bulan setelah dilantik, Obama bersama Menhan Gates dan Menlu Clinton tampil di televisi, mengumumkan dimulainya perang di perbatasan Afghanistan-Pakistan. Pemerintahan Obama tetap melanjutkan kebijakan militeristik presiden pendahulunya. Hanya saja, akhir-akhir ini Obama lebih memilih mengirimkan pesawat tempur tanpa awak (drone). Bila dulu Bush rata-rata ‘hanya’ melakukan serangan drone 6,5 kali pertahun, Obama telah memerintahkan 80 serangan pertahun. Korban yang ditimbulkan cukup masif. Di Pakistan saja, sejak tahun 2004, ada 3000 orang, termasuk anak-anak, meregang nyawa akibat 344 serangan drone (292 serangan di antaranya terjadi tahun 2009-2012). Rakyat sipil di Afghanistan, Pakistan, Yaman, Somalia, dan dalam waktu dekat, Mali, kini hidup dalam ketakutan, karena setiap saat bisa saja ada drone yang membunuh mereka. Bahkan banyak yang menjadi depresi atau gila.Dalam perang penggulingan Qaddafi di Libya dan perang sipil di Syria pun AS berperan penting, meski tanpa pengiriman pasukan.

Bagi warga AS, realitas ini mungkin kurang menarik dibandingkan isu domestik. Tapi apa boleh buat, Obama adalah Presiden AS. Karena itu rakyat AS-lah yang berhak memilihnya. Kita, orang luar, mungkin hanya bisa menertawakan diri sendiri, betapa dulu banyak dari kita yang terjebak dalam sebuah hiperrealitas: realitas semu yang dibangun oleh agen-agen periklanan dan perusahaan konsultan politik. Sejak tahun 2008, terbangun sebuah citra semu bahwa Obama adalah antitesis sosok Bush. Saat itu, publik AS masih sangat peduli pada isu-isu perang. Obama yang dicitrakan anti-perang sangat cocok dengan harapan publik AS. Kita pun, warga dunia, terseret dalam hiperrealitas yang sama.

Kini, dalam pemilu 2012, telah tercipta sebuah hiperrealitas lainnya yang terkait dengan isu-isu domestik sehingga Obama tampil sebagai antitesis kaum elit dan kapitalis yang diwakili Romney. Realitas perang yang terus berlanjut menjadi kabur. Bahkan kaum aktivis anti-perang yang umumnya lebih kritis, memilih Obama dengan alasan dia lesser devil dibanding Romney yang diperkirakan akan mengambil kebijakan pro-perang jauh lebih brutal.

Bagi masyarakat dunia, hiperrealitas bahwa Obama adalah Juru Selamat masih ada, meski samar. Karena itu, sah-saja bila banyak yang kecewa ketika dia tak seperti yang disangka. Kalau kiniObama memilih menampilkan diri sebagai seorang presiden yang sangat consern pada masalah domestik, tentu sebaiknya kita semua menyambutnya. Semoga Obama benar-benar mengurusi rakyatnya sendiri dan berhenti menebar perang di luar negeri.

Note: ini adalah tulisan karya saya sendiri, pernah dimuat di Sindo Weekly Magazine 15 November 2012, dipublish ulang dengan penambahan konten soal Palestina.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun