Agama dan Politik di Indonesia: Harmoni atau Polarisasi
Indonesia dikenal sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, namun juga dihuni oleh keberagaman agama dan kepercayaan. Pancasila sebagai dasar negara mengakui enam agama resmi: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Namun, dalam praktik sosial dan politik, hubungan antara agama dan politik tidak selalu harmonis. Pertanyaannya, apakah agama menjadi perekat harmoni dalam politik Indonesia atau justru memicu polarisasi?
Agama dan Politik dalam Sejarah Indonesia
Sejak era kemerdekaan, agama sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan politik Indonesia. Perdebatan antara kelompok nasionalis dan Islamis dalam merumuskan dasar negara mencerminkan bagaimana agama menjadi elemen penting dalam identitas nasional.
Pada masa Orde Baru, pemerintahan Soeharto menerapkan pendekatan depolitisasi agama, membatasi peran partai politik berbasis agama seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Namun pascareformasi 1998, terjadi kebangkitan partai-partai berbasis agama dan kembalinya diskursus keagamaan ke ranah publik dan politik secara terbuka.
Agama sebagai Sumber Harmoni
Dalam beberapa konteks, agama berperan sebagai penyejuk dalam kehidupan politik. Ajaran agama umumnya menekankan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan kedamaian. Organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sering kali tampil sebagai kekuatan moderat yang meredam konflik dan menekankan pentingnya toleransi.
Misalnya, dalam konflik sosial di Poso dan Ambon, peran tokoh agama terbukti mampu meredam kekerasan dan membangun dialog lintas iman. Di banyak daerah, sinergi antara tokoh agama dan pemerintah daerah menciptakan model kepemimpinan berbasis nilai-nilai religius yang memperkuat kohesi sosial.
Polarisasi Politik Berbasis Agama
Namun, belakangan ini, terutama sejak Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 dan Pemilihan Presiden 2019, terjadi peningkatan tajam dalam penggunaan simbol dan retorika agama dalam kampanye politik. Istilah seperti "kafir", "ulama vs thaghut", hingga penggiringan opini bahwa memilih kandidat tertentu adalah bagian dari jihad, menjadi marak.
Kampanye yang mengeksploitasi identitas agama berpotensi menciptakan segregasi sosial, mengurangi ruang dialog rasional, serta memicu permusuhan antarkelompok. Polarisasi politik berbasis agama bukan hanya terjadi di dunia nyata, tapi juga diperkuat oleh media sosial, di mana informasi dipolitisasi dan disebarkan secara masif tanpa verifikasi.