Mohon tunggu...
Dinar Rizki Alfianisa
Dinar Rizki Alfianisa Mohon Tunggu... Aktivis Muslimah

Menulis, Membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membangkitkan Peradaban Islam yang Hakiki

15 Oktober 2025   04:59 Diperbarui: 15 Oktober 2025   05:24 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Desain by Canva (Photo by Zaid W Saadallah)

Acara Musabaqah Qira'atil Kutub Internasional (MQKI) 2025 berlangsung dari tanggal 1-7 Oktober 2025. Berbagai acara berlangsung seperti Musabaqah, Halaqah Ulama Internasional, Expo Kemandirian Pesantren, As'adiyah Bershalawat, Perkemahan Pramuka Santri Nusantara, Fajr Inspiration, Night Inspiration, dan Pesantren Hijau.

Dalam acara tersebut, Menteri Agama, Nassarudin Umar mengajak seluruh komponen pondok pesantren di Indonesia untuk menjadikan Musabaqah Qira'atil Kutub (MQK) Nasional dan Internasional sebagai "anak tangga pertama" menuju kembali "The Golden Age of Islamic Civilization" (Zaman Keemasan Peradaban Islam). Menag menegaskan bahwa kebangkitan kembali peradaban emas ini harus dimulai dari lingkungan pesantren.

Menag menjelaskan bahwa zaman keemasan peradaban Islam, seperti yang pernah terjadi di Baghdad pada masa kepemimpinan Harun Al-Rasyid itu bisa tercapai karena adanya integrasi ilmu. Ulama pada masa itu tidak hanya mahir dalam kitab kuning (Ilmu Agama) saja, tetapi juga mahir dalam kitab putih (Ilmu Umum).

Runtuhnya peradaban Islam pada masa itu dikarenakan adanya dualisme Ilmu, pemisahan antara Ilmu Agama dengan Ilmu Umum, sehingga menjadi pembatas keilmuan cendekiawan hingga masa kini. Menurut Menag, perpaduan dua jenis keilmuan ini adalah kunci, ia meminta pondok pesantren untuk cerdas dan tidak membatasi diri pada satu jenis keilmuan.

"Perkawinan antara 'Iqra' [Kitab Putih] dan 'Bismirabbik' [Kitab Kuning] itulah yang akan melahirkan insan kamil", tuturnya.

Menag menambahkan, pondok pesantren adalah "benteng paling kuatnya Indonesia". Oleh karena itu, pondok pesantren harus menjadi pelopor kebangkitan, semakin memahami agama maka akan semakin moderat dan toleran. 

(kemenag.go.id, 02-10-2025)

Pesantren sebagai Pelopor Kebangkitan

Pernyataan Menteri Agama dalam sambutan pembukaan MQKI tersebut sejalan dengan tema yang diusung untuk peringatan Hari Santri 22 Oktober mendatang yaitu "Mengawal Indonesia Menuju Peradaban Dunia". Menjadikan pesantren sebagai pelopor kebangkitan menuju peradaban dunia merupakan cita-cita luhur yang memberikan harapan. Namun perlu dicermati arah penetapan tema tersebut jika hal ini muncul dalam kehidupan yang sekuler dan liberal.

Bila fokus pada tujuan strategis santri seharusnya pesantren adalah mencetak ulama dan pemimpin peradaban Islam. Namun faktanya, hari ini ada upaya mendistraksi fokus santri dengan memposisikannya sebagai duta budaya dan motor penggerak ekonomi seperti adanya program santripreneur maupun kewirausahaan pesantren. Hal tersebut justru semakin mengokohkan sekulerisme di dunia pesantren yang kemudian menjauhkan peran strategis santri sebagai calon warosatul anbiya'.

Belum lagi upaya untuk menjadikan santri moderat dengan program moderasi beragama. Sekilas, konsep santri moderat tampak baik dan luhur. Ia dipahami sebagai upaya membentuk santri yang toleran, cinta damai, dan menghargai perbedaan. Narasi ini sering dikaitkan dengan semangat Islam wasathiyah --- Islam jalan tengah yang menjauhi sikap ekstrem. Namun di balik kemasan yang terlihat positif itu, tersimpan agenda yang lebih dalam, yaitu upaya mensekulerisasi santri melalui konsep moderasi beragama.

Melalui berbagai program pelatihan, beasiswa, dan kurikulum pesantren yang berorientasi pada moderasi, santri diarahkan untuk menjadi pribadi yang "toleran" dalam arti menjauh dari sikap ideologis terhadap ajaran Islam yang sempurna. Kajian tentang politik Islam, hukum publik, dan sistem pemerintahan Islam mulai dianggap sensitif atau tidak relevan. Santri didorong untuk aktif di bidang sosial, digital, dan ekonomi, tetapi dijauhkan dari pembahasan tentang penerapan syariat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Akibatnya, pesantren yang dahulu menjadi benteng keilmuan dan perjuangan Islam kini mulai bergeser perannya menjadi lembaga pembentuk karakter sosial yang netral secara ideologis. Istilah santri moderat pun akhirnya tidak lagi bermakna "santri yang adil dan bijak," melainkan santri yang jinak terhadap sekularisme, menerima pemisahan antara agama dan politik sebagai sesuatu yang normal. Dengan demikian, moderasi yang dikampanyekan bukan lagi sekadar keseimbangan, tetapi justru alat untuk menjinakkan potensi ideologis umat Islam yang tumbuh dari rahim pesantren.

Membangkitkan Peradaban Islam yang Hakiki


Upaya membangkitkan kembali peradaban Islam merupakan kewajiban syar'i bagi setiap Muslim, bukan sekadar wacana idealis. Islam datang tidak hanya untuk membentuk individu yang saleh, tetapi juga untuk membangun masyarakat dan sistem kehidupan yang tunduk pada hukum Allah. Karena itu, kebangkitan Islam menuntut pemahaman yang komprehensif terhadap bagaimana peradaban Islam terbentuk, berkembang, dan runtuh.

Taqiyuddin an-Nabhani dalam Nizham al-Islam menjelaskan bahwa peradaban Islam (al-hadharah al-Islamiyyah) dibangun di atas asas akidah Islam. Akidah ini bukan hanya keyakinan spiritual, tetapi juga pandangan hidup (aqliyyah dan nafsiyyah) yang melahirkan cara berpikir dan cara hidup khas seorang Muslim. Dari asas ini lahir miqyas al-'amal, yaitu ukuran amal berdasarkan halal dan haram, bukan manfaat atau keuntungan materi. Menurutnya, inilah yang membedakan peradaban Islam dengan peradaban Barat yang berdiri di atas asas sekularisme---memisahkan agama dari kehidupan dan menilai segala sesuatu berdasarkan manfaat duniawi.

Konsep kebahagiaan dalam Islam juga berbeda secara fundamental. Islam memandang kebahagiaan sejati (as-sa'adah al-haqiqiyyah) sebagai ketenangan karena menjalani kehidupan sesuai hukum Allah, bukan karena terpenuhinya kebutuhan materi semata. Dengan demikian, gambaran peradaban Islam bukan hanya kemajuan teknologi atau ekonomi, melainkan kehidupan yang seluruh urusannya diatur oleh syariat.

Dalam konteks ini, pesantren memiliki peran signifikan sebagai lembaga pencetak ulama dan penjaga tradisi keilmuan Islam. Namun, pesantren tidak dapat berjalan sendiri. Ia harus menjadi bagian dari gerakan dakwah politik Islam, sebagaimana ditegaskan dalam kitab Nizham al-Islam, bahwa "perjuangan menegakkan kembali kehidupan Islam (isti'naf al-hayah al-Islamiyyah) hanya akan berhasil jika diarahkan pada perubahan sistem kehidupan secara menyeluruh." Oleh karena itu, dakwah tidak cukup berhenti pada pembinaan akhlak, tetapi harus mencakup upaya menegakkan sistem yang menerapkan hukum Allah secara menyeluruh.

Wallahualam 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun