Dua bulan saya tidak menulis blog, untuk memulai lagi rasanya agak gimana-gimana, gitu. Saya jeda tidak menulis blog pun bukan tanpa alasan. Selain karena sibuk dengan urusan kantor (alasan klasik), saya juga dianjurkan dokter untuk tidak berlama-lama duduk statis di depan komputer. Apalagi menginjak usia seperempat abad begini, sangat terasa efeknya jika badan tidak bergerak seminggu saja. Badan menjadi sangat kaku, leher tegang sampai bisa menyebabkan kepala saya nyut-nyutan.Â
Selain itu, menulis blog membuat saya keasyikan duduk berlama-lama di depan komputer, setidaknya bisa tiga jam saya duduk tanpa bergerak sedikit pun dari depan layar. Agak sedih juga, karena kebanyakan hobi saya justru berkutat di seputar komputer, bangku atau kursi dan meja. Harusnya saya menulis ini untuk rubrik kesehatan ya, he he..
Baiklah, untuk meramaikan lomba Komik Kompasiana, saya ingin berbagi cerita tentang pengalaman saya mengikuti Festival Film Cannes di Prancis. Selama tujuh tahun saya tinggal di selatan Prancis, baru dua kali saya berpartisipasi dalam festival film kelas dunia ini, tentunya karena alasan pekerjaan.Â
Kalau bukan untuk kerja, rasanya syulid buat saya bisa masuk ke situ sebagai rakyat jelata, apalagi jika tidak punya bujet yang memadai. Yah, sekadar menikmati dari luar sih bisa saja, sambil 'mengemis-ngemis' tiket seperti yang banyak dilakukan para 'penggila' film atau istilahnya cinephile dalam bahasa Prancis, dengan cara yang elegan.Â
Maksudnya mengemis elegan bagaimana itu? Ada banyak orang yang sengaja datang ke Cannes, hanya untuk bisa menikmati kemeriahan acara festival, sambil berdiri dengan sabar di luar Palais des Festivals-nama gedung tempat pelaksanaan festival-dan membawa-bawa kertas, karton atau papan bertulis, "Ayolah, bagikan tiket gratis film untuk saya." Apakah ada yang berhasil dapat tiket gratis? Katanya sih ada saja...
Cara lainnya sebagai rakyat jelata jika ingin memasuki Palais des Festivals supaya bisa melihat dari dekat para artis, seniman, sineas, ya dengan membeli tiket masuk yang harganya mulai dari 300 Euro! Eh, tapi jangan mengira tidak bakalan banyak yang membeli tiket on the spot seharga itu ya. Malahan, belum sampai jam 12 siang saja loket dibuka, tiket yang bisa dibeli perhari sudah ludes!
Kembali lagi ke keikutsertaan saya dalam Festival Cannes, alhamdulillah saya diberikan kesempatan pada tahun 2019 dan 2025 untuk menyambangi acara tersebut, meskipun tidak full selama festival digelar ya. Tidak juga satu hari penuh, ha ha.. apalagi gegap gempita acara biasanya baru dimulai pada jam-jam sore menjelang malam, hingga tengah malam bahkan dini hari, zzzz...Â
Gegap-gempita tuh misalkan jika pengunjung ingin menyaksikan para aktor dan aktris berjalan dan melambaikan tangan di karpet merah memasuki Palais des Festivals, nah di situlah kemeriahan festival baru terasa. Sementara, kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan saya justru dilaksanakan di pagi hari, karena biasanya saya dan para kolega diminta mendampingi delegasi sebagai penerjemah. Padahal sebenarnya di acara-acara internasional seperti ini, dan di kota turistik seperti Cannes, rata-rata orang Prancis bisa berbahasa Inggris.Â
Normalnya pelaksanaan Festival Film Cannes sebanyak 12 hari, karena tidak hanya ajang para artis untuk pamer busana di red carpet dan tempat para sineas dihadiahi berbagai penghargaan di podium seperti Academy Awards.Â
Justru di festival film seperti inilah, terjadi berbagai aktivitas penting bagi para sineas untuk 'berjualan' film ke para distributor, produser, pebisnis dan orang-orang yang berkecimpung di dunia entertainment. Maka itu ada yang namanya Marche du Film, diartikan secara harfiah 'Pasar Film' yang merupakan denyut penting dari Festival Film Cannes.Â
Pelaksanaan Marche du Film sebenarnya tidak hanya berlangsung di dalam Palais des Festivals, tapi ada juga yang dilaksanakan di hotel-hotel yang turut bekerjasama dengan festival dan menjadi tempat menginap para artis. Ada Hotel Martinez yang sering menjadi tempat menginap Bella Hadid, ada Le Majestic, ada juga Hotel Gray d'Albion yang pernah saya singgahi untuk menjadi penerjemah tim Wakil Gubernur DKI Jakarta ketika mengadakan pertemuan dengan insan perfilman dari Hong Kong dan Korea Selatan.Â
Jika saya amati, berkecimpung di dunia industri perfilman merupakan dunia yang sangat dinamis. Selain bertemu banyak orang dari berbagai bangsa dan kalangan, kita banyak berbagi ilmu juga tentang bagaimana film itu menjadi sebuah komoditi dagang yang bisa menjual dan mengedukasi banyak orang.Â
Jadi, industri ini tidak melulu soal gegap gempita dan hura-hura, seperti yang dilihat sebagian besar orang di layar kaca atau publikasi media massa. Tapi, karena film bisa membuat sebuah kota menjadi hidup, bergerak dinamis, menjadi pusat budaya dan pariwisata.Â
Misalkan saja kota Busan. Dulu, kita semua tidak mengenal Busan. Tapi sekarang Busan menjadi salah satu kota berdaya tarik internasional berkat diselenggarakannya festival film tahunan. Dan itu juga berkat kerja sama aktif antara pemerintah kota setempat, para pebisnis dan kalangan sineas di negeri Ginseng. Setidaknya itu salah satu hal yang saya pelajari dari pertemuan di Marche du Film tahun ini. Yuk, Indonesia bisa yuk! ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI