Mohon tunggu...
Dina Amalia (Kaka D)
Dina Amalia (Kaka D) Mohon Tunggu... Penulis, Bouquiniste

~ Best In Opinion Kompasiana Awards 2024 ~ Hidup dalam edisi khusus bekas + bekas | Kebanyakan buku, sesekali mlaku-mlaku | dno.dwriter@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Jelajah Suku Baduy: Harmoni Kedamaian dan Keunikan yang Tak Tertandingkan

16 April 2025   10:15 Diperbarui: 16 April 2025   17:26 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi / Dina Amalia (Cindermata Kain Tenun dan Gantungan Kunci dari Baduy)

Penulis: Dina Amalia
Sources: Pengalaman Pribadi - Kunjungan Budaya ke Suku Baduy
Narasumber - Wawancara: Asmin, Aldi, Sanip (dari Suku Baduy Dalam)

Indahnya alam Ibu Pertiwi, kerap kali mengajak sekaligus menyuguhkan pengalaman yang amat mengagumkan. Apalagi, kalau diizinkan untuk berinteraksi langsung dengan kentalnya tradisi dan budaya lokal nan elok.

Suku Baduy, menjadi destinasi istimewa yang menyodorkan pengalaman hangat untuk langsung mendengarkan, merasakan, dan melihat segala aktivitas lokal yang kental akan adat dan budayanya. Melalui setapak perjalanan ke Suku Baduy Luar, saya benar-benar disuguhkan betapa indahnya keanekaragaman tradisi dan budaya tanah Ibu Pertiwi.

Berkumpul dan mengisi stamina di stasiun Rangkasbitung, saya beserta rombongan melanjutkan perjalanan terakhir yang berliku dan naik-turun menggunakan elf selama 2 jam. Pemandangan hijau asri pedesaan mengiringi sepanjang perjalanan kami hingga sampai distart point penanjakan, Ciboleger.

Disapa Pemandangan Asri dan Masyarakat Suku yang Ramah

Di Ciboleger, beberapa porter menawarkan jasa untuk membawakan ransel, dengan kisaran harga yang ditawarkan sekitar 100.000. Ada pula yang menawarkan tongkat kayu yang khas untuk trekking.

Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi / Dina Amalia (Start Point Ciboleger dan Cinderamata)
Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi / Dina Amalia (Start Point Ciboleger dan Cinderamata)

Menapaki Ciboleger, masih terlihat biasa saja dengan pemandangan minimarket dan rumah warga pada umumnya. Namun, ketika sampai dititik pengecekan data, mulai terlihat warga suku dengan rumah adat yang khas, ditambah dengan jajaran oleh-oleh khas suku yang menarik.

Perjalanan yang panjang dimulai, kami melangkah dan menanjak sekitar 4-5 jam ke Baduy Dalam dengan ransel penuh persediaan logistik. Sayangnya, dominan rombongan kami salah kostum, terutama sepatu yang mengakibatkan tergelincir, sebab jalan terjal, licin dan curam.

Herannya, saat kami susah-payah menanjak dengan bebatuan yang terjal, beberapa warga suku lewat bergantian 'tanpa' menggunakan alas kaki, terlebih yang perempuan dengan menggunakan bawahan kain tetapi berjalan sangat cepat. Otomatis, kami melongo melihatnya, sekaligus salut.

Sepanjang perjalanan, bukan suasana seram yang kami dapatkan. Justru pemandangan indah yang tiada habisnya! Sungai, pepohonan dan padi nan hijau asri sibuk menyapa. Ditambah, setiap kali melewati rumah warga suku selalu disambut dengan senyuman dan sapaan selamat datang.

Harmoni Alam dan Kedamaian

Tepat waktu maghrib saya dan rombongan tiba di dalam Baduy, beberapa rumah warga suku rupanya menjadi penginapan kami. Ya, tinggal dan tidur bersama dalam satu rumah, kami menggunakan ruang tamu dan terasnya.

Setelah sampai dan mandi, sepintas tidak ada yang beda. Namun, ketika mulai duduk diteras rumah warga suku, dengung pun terasa. Yakni perubahan alam yang amat terasa pada tubuh.

Saat di kota, kita terbiasa dengan suara bising; lalu-lalang kendaraan, aktivitas masyarakat, ataupun sekedar suara dari layar ponsel. Namun, di Baduy benar-benar hening sekali. Pertama sadar, telinga rasanya seperti tertekan, sekilas berdengung atau berasa budek.

Sempat takut. Apalagi, tidak ada sinyal sama sekali, otomatis semua rekan mematikan ponsel. Ditambah, tidak ada penerangan sedikit pun, kecuali dari senter yang kami bawa. Semua kaget.

"Di Baduy Dalam, memang tidak terdapat penerangan. Alat komunikasi pun tidak diperbolehkan untuk digunakan. Begitu juga untuk pengunjung, dilarang seperti untuk merekam," ungkap Asmin, Aldi, dan Sanip saat wawancara.

Tak berselang lama, alam seakan menyambut. Suara burung bermunculan, angin berhembus gemulai. Tak terasa, tiba-tiba saja kami terbiasa.

Kami memulai obrolan dengan beberapa warga suku yang selalu tersenyum. Saling membantu membuatkan makanan, yakni sajian khas dari warga Suku Baduy seperti olahan nasi dan ikan. Serupa liwetan, kami makan sejajar dengan alas daun pisang.

Damai, itulah yang kami rasakan. Obrolan benar-benar menyala, tidak ada satu pun yang menundukan pandangan ke layar ponsel.

Biasanya di kota, kita lebih sering melihat kucing-kucing bermunculan dan menyambangi rumah-rumah. Kalau di Baduy, anjing-anjing bermunculan mendekat sejak kami datang. Selayaknya hewan yang sudah terbiasa berlalu-lalang di lingkungan rumah.

Hingga larut malam, hening semakin terasa. Sekitar pukul 1 pagi buta, beberapa anjing menggonggong di tengah hutan, saut-sautan tiada henti. Sesekali terdengar raungan menimpa.

Seakan menyaksikan pertunjukan alam liar, suara-suara tersebut mewarnai seisi desa di malam hari, yang menjadi hal unik sekaligus baru bagi saya.

Sederhana dan Terjaga: Kehidupan Suku Baduy yang Kokoh Menjaga Adat, Tradisi, dan Alam

Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi / Dina Amalia (Sungai dan Jembatan di Baduy)
Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi / Dina Amalia (Sungai dan Jembatan di Baduy)

Pagi tiba, gemericik sungai dan cuitan burung-burung menyapa kami. Biasanya, mendengarkan suara alam dan aliran sungai hanya melalui tayangan youtube sebagai relaksasi. Tetapi, kali ini benar-benar merasakan dan mendengarnya secara langsung.

Dengan sensasi yang berbeda, kami mandi seperti biasa yakni menggunakan sabun dan sampo. Namun, lain halnya dengan warga Baduy yang menggunakan perlengkapan mandi full alami.

Saat saya bertanya, mereka menjelaskan bahwa memanfaatkan honje dan lerak sebagai sabun, dan mereka menyebut lerak dengan sebutan 'lerek'. Sedangkan, untuk sikat gigi mereka menggunakan siwak. Semua bahan yang digunakan benar-benar alami dan sama sekali tidak membuat badan menjadi bau, meski aktivitas mereka terlihat cukup berat seperti naik-turun lembah.

Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi / Dina Amalia (Suasana pagi hari di Suku Baduy)
Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi / Dina Amalia (Suasana pagi hari di Suku Baduy)

Hari semakin cerah, rumah-rumah Suku Baduy terlihat jelas; benar-benar indah dan sederhana, yang full dilapisi anyaman bambu dengan pola berbeda-beda nan unik. Saat saya tidur di ruang tamu, beberapa perlengkapan berburu pun menghiasi dinding; seperti golok, beberapa macam gergaji, dan kayu-kayu.

Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi / Dina Amalia (Aktivitas Menenun)
Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi / Dina Amalia (Aktivitas Menenun)

Kami pun diberi kesempatan untuk datang ke balai dan berkeliling, bertegur sapa sekaligus wawancara dengan warga Suku. Diantara mereka ada yang sudah beraktivitas menumbuk padi, hingga menenun. Menjadi pemandangan asri yang tak pernah saya lihat sebelumnya.

Saat wawancara, saya pun mengajukan pertanyaan sederhana tentang kehidupan mereka, dari mulai mata pencaharian, makanan-minuman, perbedaan suku, hingga pakaian.

  • Mata pencaharian warga Suku Baduy sendiri dominan dari berladang. Hasil bumi yang biasa mereka dapatkan dari berburu, diantaranya kancil, kijang, dan babi. Hingga mengisi kegiatan dengan menenun untuk perempuan.
  • Mereka memakan hasil buruan, kecuali satu pantangan yang amat dilarang, yakni tidak diperbolehkan mengonsumsi kambing. Sedangkan, minuman yang biasa mereka nikmati yakni tuak khas dari aren.

Suku Baduy sendiri terbagi menjadi Dalam dan Luar, yang tentunya memiliki perbedaan, dari mulai adat sampai pakaian.

Baduy Dalam, amat kental sekali dengan adat-istiadat, di mana mereka 'tidak pernah melanggar' aturan. Dari sisi rumah pun berbeda, yakni sama sekali tidak menggunakan paku, alias full diikat.

Sedangkan Baduy Luar, tergolong warga yang sudah 'melanggar' aturan dan dikeluarkan, yakni dari Baduy Dalam ke Luar. Namun, ada juga yang memang keputusan pribadi/keluarga untuk terbebas dari sebuah aturan.

Pakaian mereka pun rupanya jelas berbeda secara Suku, meski sering berlalu-lalang bersama. Di mana Baduy Dalam mengenakan pakaian hitam-putih. Sedangkan, Baduy Luar mengenakan pakaian hitam dengan corak batik berwarna biru tua, hingga diperbolehkan mengenakan pakaian warna-warni.

Cinderamata Suku Baduy yang Ikonik

Kain tenun, menjadi primadona cinderamata khas Baduy. Sejak pagi menyapa, warga suku perempuan sudah mulai menenun kain. Ketika berdiskusi, mereka mengungkap bahwasannya sudah mulai belajar membuat kain tenun di usia 15 tahun.

Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi / Dina Amalia (Cindermata Kain Tenun dan Gantungan Kunci dari Baduy)
Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi / Dina Amalia (Cindermata Kain Tenun dan Gantungan Kunci dari Baduy)

Selain pilihan motif tenun yang cantik, ukurannya pun beragam dari mulai kecil hingga lebar. Ada yang bisa dijadikan untuk outfit/koleksi bawahan dan ada juga yang bisa dijadikan sebagai syal.

Terlepas dari kain tenun, ada juga cinderamata lain yang ditawarkan. Seperti tas, topi, dan gantungan kunci. Semua dibuat menggunakan bahan-bahan alami.

Kalau bosen dengan pernak-pernik barang, ada juga oleh-oleh khas asli Baduy hasil dari berladang. Durian misalnya, menjadi salah satu buah yang diserbu wisatawan. Selain harum, rasanya pun enak banget! Bahkan saking tak mau ketinggalannya, buah durian dijadikan santapan setelah sarapan oleh beberapa rekan.

Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi / Dina Amalia (Durian, Cinderamata Tas dan Pernak-Pernik)
Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi / Dina Amalia (Durian, Cinderamata Tas dan Pernak-Pernik)

Tak ketinggalan, oleh-oleh yang paling ikonik pasti ada! Yakni madu, hasil bumi yang banyak dicari-cari wisatawan saat berkunjung ke Baduy. Dominan, madu yang dijual berukuran botol besar dan sudah terjamin keasliannya.

Proses tawar-menawar pun tentu diperbolehkan. Jadi, kalau dirimu berkunjung ke Suku Baduy dan ingin beli cinderamata, jangan takut kemahalan. Sebab, selalu diberikan penurunan harga.

Itulah perjalanan saya menyusuri Suku Baduy, yang mengajarkan dan menyadarkan betapa indahnya kesederhanaan, dan berdampingan dengan kayanya alam.

Barakallah. Terima kasih ya sudah membaca artikel ini sampai habis. Semoga sehat dan bahagia selalu untuk dirimu yang lagi membaca.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun