Kesepakatan Universal Cahaya
Mungkin, para saintis empiris akan menganggap ini sebagai dongeng. Para fundamentalis agama menganggap ini sebagai bid'ah, khurafat atau zindik. Namun, dari berbagai sudut pandang---sains yang memandang cahaya sebagai energi kosmik, filsafat yang menafsirkan cahaya sebagai kesadaran dan kebenaran, serta tasawuf yang memandang cahaya sebagai pancaran Ilahi---semuanya bermuara pada satu titik temu: cahaya adalah dasar kehidupan. Cahaya adalah simbol universal bagi sesuatu yang lebih dalam: nilai-nilai yang membuat kehidupan itu bermakna.
Dalam sains, cahaya memungkinkan fotosintesis, ekosistem, dan rantai kehidupan. Ia menegaskan bahwa tanpa energi yang mengalir, kehidupan tak mungkin bertahan. Maka dalam ranah manusia, cahaya menjelma menjadi energi sosial berupa kerja sama, solidaritas, dan kepedulian.
Dalam filsafat, cahaya menjadi metafora kebenaran. Tanpa terang, manusia hidup dalam kegelapan kebodohan. Begitu pula, tanpa keadilan dan kebenaran, masyarakat hanyalah labirin gelap tempat manusia saling menabrak.
Dalam tasawuf, cahaya adalah cinta. Nr Muhammad dipahami sebagai cahaya rahmat, pemancar kasih sayang Ilahi kepada seluruh alam. Tanpa cinta, hidup kehilangan arah, seperti bumi tanpa matahari.
Dari ketiga horizon ini, muncul sebuah kesepakatan universal: bahwa cahaya sejati bukanlah sesuatu yang hanya dilihat dengan mata, melainkan sesuatu yang dirasakan dengan hati. Ia hadir dalam bentuk cinta, kasih sayang, kejujuran, keadilan, kebijaksanaan, dan kebenaran.
Nilai-nilai itu bukan sekadar norma sosial atau ajaran agama tertentu, melainkan naluri dasar kehidupan itu sendiri. Sama seperti setiap makhluk hidup mencari cahaya untuk tumbuh, manusia pun mencari cahaya nilai untuk hidup bermakna. Tanpa cinta, manusia layu. Tanpa keadilan, masyarakat hancur. Tanpa kebenaran, pengetahuan lumpuh.
Maka, apa pun bahasa yang digunakan---energi dalam sains, Logos dalam filsafat, Nur Muhammad dalam tasawuf---semua menegaskan hal yang sama: cahaya adalah inti dari kehidupan, dan inti cahaya adalah cinta.
Jika manusia mampu menyepakati ini, maka segala perbedaan pandangan, budaya, agama, dan ideologi tidak lagi menjadi tembok pemisah. Sebab, di balik segala keragaman, kita semua berjalan menuju satu cahaya yang sama: cahaya cinta dan kasih sayang sebagai hukum alam, cahaya kebenaran dan keadilan sebagai hukum sosial, dan cahaya Ilahi sebagai hukum kosmik.
Dengan demikian, inti dari setiap refleksi ini sesungguhnya berakhir di dalam diri kita: dalam kemampuan kita untuk menyalakan cahaya cinta dan menebarkannya ke sesama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI