"Anak sekarang kurang ajar." "Generasi sekarang mentalnya lembek." "Zaman dulu mah kami lebih tangguh." Kalimat-kalimat seperti ini mungkin terdengar familiar, bahkan menjadi bahan candaan yang lumrah di obrolan keluarga, ruang kerja, hingga lini masa media sosial.
Setiap generasi tampaknya punya satu kebiasaan yang tidak pernah absen: meremehkan generasi setelahnya. Gen X pernah menganggap Milenial manja dan tidak tahan kerja keras. Milenial kini mencibir Gen Z sebagai generasi rapuh yang mudah baper. Bahkan Gen Z mulai menyindir Gen Alpha adalah anak-anak yang baru saja tumbuh besar sebagai generasi absurd yang terlalu tergantung gadget dan minim adab. Ironisnya, pola ini bukan hal baru. Filsuf Yunani kuno, Socrates, bahkan pernah mengeluhkan generasi muda yang dianggap tidak sopan dan malas.
Mengapa ini terus berulang? Apakah generasi setelah kita memang selalu "lebih buruk"? Atau ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar selera dan gaya hidup yang berbeda?
Di era digital seperti sekarang, ketegangan antar generasi makin terasa. Perbedaan cara berbicara, gaya berpikir, hingga ekspresi emosi memunculkan gesekan dalam ruang publik maupun ruang pribadi. Dunia pendidikan, dunia kerja, bahkan hubungan orang tua-anak, tak lepas dari friksi generasi ini.
Dari sini kita coba mengupas fenomena saling salah paham antar generasi, melalui sudut pandang sosiologi dan referensi kajian ilmiah. Dengan harapan, kita bisa memahami: mengapa kita selalu meremehkan generasi setelah kita dan bagaimana seharusnya kita bersikap?
Analisis Sosiologis
Fenomena saling meremehkan antar generasi bukanlah hal baru, dan bukan pula hal yang hanya terjadi di Indonesia. Secara sosiologis, ini adalah gejala sosial yang disebut sebagai stereotip generasi merupakan sebuah cara umum dan terburu-buru dalam menilai kelompok umur berdasarkan tahun kelahiran, tanpa mempertimbangkan konteks atau pengalaman hidup masing-masing.
Penelitian dari Perry, Hanvongse, dan Casoinic (2013) menyebut bahwa stereotip generasi muncul karena manusia cenderung mencari "jalan pintas" dalam memahami orang lain. Mengelompokkan orang ke dalam "generasi manja", "generasi keras kepala", atau "generasi absurd" memberikan ilusi kontrol dan rasa aman, seolah kita memahami mereka sepenuhnya. Padahal, kita hanya melihat permukaan.
Dalam dunia psikologi sosial, ini dikenal sebagai efek generalisasi dan dampaknya tidak main-main. Ketika seseorang tahu bahwa kelompoknya distereotipkan sebagai "malas" atau "lemah mental", besar kemungkinan ia akan mulai meragukan dirinya sendiri, atau justru berperilaku sesuai label itu. Ini disebut self-fulfilling prophecy, di mana stereotip menciptakan kenyataan sosial yang semula tidak ada.
Lebih lanjut, studi oleh Eschleman et al. (2016) menunjukkan bahwa stereotip generasi tidak lahir dari fakta mutlak, melainkan dari cara masyarakat mempertahankan stabilitas budaya. Ketika norma-norma lama tergeser oleh cara hidup baru, generasi lama cenderung melihat perubahan sebagai ancaman. Maka muncullah stereotip untuk "mengatur ulang" generasi muda agar kembali ke jalur lama yang dianggap lebih benar.
Fenomena ini juga dijelaskan dalam konsep konflik nilai antar generasi. Generasi yang lebih tua dibentuk oleh kondisi sosial dan ekonomi yang berbeda. Mereka hidup di masa keterbatasan, di mana kerja keras adalah kunci hidup. Sementara generasi muda tumbuh di era digital, ketika informasi datang begitu cepat, dan kesadaran akan kesehatan mental atau kesetaraan gender menjadi bagian dari percakapan sehari-hari. Perbedaan cara pandang ini sering kali dianggap sebagai kelemahan oleh generasi sebelumnya.