Mohon tunggu...
Dimas Ramadhan
Dimas Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa Pendidikan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Jakarta.

Seorang mahasiswa yang gemar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Salah Paham Antar Generasi: Mengapa Kita Selalu Meremehkan Generasi Setelah Kita?

7 Juli 2025   20:09 Diperbarui: 7 Juli 2025   20:09 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Berbagai Generasi (Freepik/Rawpixel.com)

Penelitian oleh Szab & Macz (2021) mengungkap bahwa Gen Z, misalnya, sangat sadar akan stereotip yang dilekatkan kepada mereka, seperti tidak tahan stres atau terlalu digital. Tapi yang jarang disadari adalah: mereka justru mencoba bertahan dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh tekanan sosial, bahkan sejak usia sangat muda.

Sayangnya, stereotip sering membuat kita lupa bahwa setiap generasi punya tantangannya sendiri. Gen X tumbuh dalam era stabilisasi politik. Milenial melewati krisis moneter dan transisi teknologi. Gen Z dan Alpha menghadapi pandemi, krisis iklim, dan ketidakpastian global di usia sangat dini.

Jadi, ketika kita bilang, "anak sekarang lemah", mungkin kita lupa bahwa mereka hanya berjuang dengan cara yang berbeda. Mungkin mereka tidak setangguh generasi sebelumnya secara fisik, tapi mereka berani membuka luka mental mereka secara publik, sesuatu yang dulu dianggap tabu. Itu pun bentuk kekuatan.

Refleksi Kependidikan

Pola saling meremehkan antar generasi seharusnya menjadi bahan refleksi serius bagi dunia pendidikan. Mengapa kita selalu gagal memahami generasi setelah kita? Apakah sistem pendidikan hanya melahirkan pelanjut budaya lama, atau justru bisa menjadi jembatan antar generasi?

Sayangnya, di banyak institusi pendidikan hari ini, pendekatan lintas generasi masih sangat minim. Pengajaran masih sering berpijak pada nilai-nilai "jaman dulu", tanpa ruang dialog yang adil antara generasi tua dan muda. Guru yang didominasi oleh Gen X dan Milenial masih merasa bahwa cara belajar mereka adalah yang paling benar. Sementara siswa Gen Z dan Gen Alpha tumbuh dalam ekosistem digital yang sepenuhnya berbeda: mereka berpikir cepat, terbiasa multitasking, dan membutuhkan koneksi emosional yang kuat dalam proses belajar.

Akibatnya, ruang kelas sering menjadi ruang tarik-menarik nilai, bukan ruang pertukaran gagasan. Siswa dianggap tidak sopan karena menjawab terlalu jujur. Guru dianggap ketinggalan zaman karena tidak tahu tren TikTok. Yang muncul adalah saling curiga, bukan saling memahami.

Pendidikan seharusnya menjadi medium untuk mendamaikan perbedaan generasi, bukan memperlebar jarak. Kurikulum yang menekankan hafalan tanpa memberi ruang ekspresi justru memperkuat stereotip bahwa generasi muda tidak bisa berpikir kritis. Di sisi lain, jika generasi tua terus menolak belajar dari generasi muda, mereka akan kehilangan kesempatan memahami dunia yang berubah sangat cepat.

Maka penting bagi dunia pendidikan untuk mulai membangun budaya dialog antar generasi. Bukan sekadar ceramah satu arah, tetapi forum-forum terbuka yang membiasakan siswa dan guru mendengarkan perspektif satu sama lain. Pembelajaran juga perlu menekankan keterampilan empati lintas usia: memahami bahwa setiap orang dibentuk oleh zamannya, dan setiap generasi punya kekuatan serta kelemahannya sendiri.

Lebih jauh lagi, pendidikan karakter tidak boleh berhenti pada nilai-nilai abstrak seperti "toleransi" atau "kesopanan", tetapi juga harus mengajarkan kesadaran lintas generasi: bahwa menghargai generasi lain bukan berarti kehilangan jati diri, melainkan memperkaya perspektif hidup.

Jika pendidikan bisa mengajarkan hal itu, maka kita tak lagi akan terjebak pada siklus "yang muda dianggap tak tahu apa-apa" dan "yang tua dianggap ketinggalan zaman". Kita akan membentuk masyarakat yang lebih saling memahami, dan lebih siap menghadapi masa depan bersama.

Penutup

Meremehkan generasi setelah kita adalah kebiasaan sosial yang diwariskan secara turun-temurun. Kita tumbuh, menjadi dewasa, lalu merasa cara hidup kita adalah yang paling benar. Maka ketika generasi berikutnya datang dengan cara berpikir, berkomunikasi, dan mengekspresikan diri yang berbeda, kita dengan mudah menyimpulkan: mereka "lebih buruk".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun