Implikasi data: angka-angka besar ini menunjukkan dua hal sekaligus: (1) modal asing memang signifikan bagi pembiayaan pembangunan dan penciptaan lapangan kerja, namun (2) jumlah nominal besar bukanlah tolok ukur otomatis bagi manfaat yang merata --- struktur kepemilikan, rantai nilai, dan aturan shareholding menentukan siapa yang menikmati nilai tambah.
---
IV. Pasal demi Pasal --- Titik Temu dan Titik Tumpul antara UU Penanaman Modal dan Semangat Tap MPRS XXIII/1966
Untuk membongkar problematika kedaulatan, kita harus membandingkan norma-norma. Di sini saya memilih beberapa pasal/klausul kunci yang relevan dan mengurai bagaimana ia berpotongan (atau bertabrakan) dengan semangat Tap.
A. Pasal definisi PMA dan persyaratan badan hukum
Apa kata UU? UU mensyaratkan bahwa PMA beroperasi melalui badan hukum Indonesia (PT Perseroan Terbatas), dengan mekanisme perizinan dan registrasi yang diatur. Secara teknis, ini terlihat sebagai mekanisme kontrol. Namun kendala muncul ketika struktur pemilikan tetap menempatkan kontrol ekonomi strategis di tangan pemilik asing, sementara fungsi manajerial dan keputusan strategis tetap mengalir ke pemegang saham asing.Â
Kontradiksi dengan Tap MPRS XXIII/1966: Tap menekankan pengendalian nasional atas faktor produksi strategis---hanya badan hukum lokal bukanlah jaminan kedaulatan jika manfaat ekonomi (nilai tambah, transfer teknologi, kepemimpinan manajerial) tetap direbut asing.
B. Pasal tentang daftar negatif dan pembatasan sektor
Apa kata UU? Dalam UU ada ruang untuk membatasi sektor strategis lewat Negative Investment List (DNI) --- namun revisi-revisi selama dekade terakhir menunjukkan tren pembukaan di banyak sektor, terutama untuk menarik FDI yang 'besar'.Â
Kontradiksi: Pembukaan sektor strategis tanpa ketentuan redistributif kuat (mis. persyaratan kandungan lokal, penyerapan tenaga kerja lokal yang bermutu, alokasi pendapatan negara) mereduksi substansi kedaulatan yang diidamkan Tap.
C. Pasal insentif fiskal dan perlindungan investor