Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang disahkan pada 2025 memantik gelombang protes dan kekhawatiran publik: apakah perombakan ini sekadar penyesuaian teknis untuk modernisasi militer, atau sebuah regresi yang menegaskan kembali supremasi institusional militer dalam ruang politik dan pemerintahan? Untuk menjawabnya perlu menyandingkan teks UU Nomor 3 Tahun 2025 dengan Ketetapan MPRS No. XXIV/MPRS/1966 (selanjutnya: Tap MPRS 1966) dan menimbang: di mana keselarasan normatif terjadi, dan di mana terjadi ketidaksesuaian yang berpotensi melemahkan prinsip kontrol sipil atas militer yang dibangun pasca-1998. Artikel ini membaca dokumen hukum, fakta publik, dan data relevan untuk memberikan analisa kritis, lugas, dan berbasis bukti.Â
Inti Perubahan UU TNI 2025 --- apa yang nyata berubah?
Secara ringkas, UU Nomor 3 Tahun 2025 merevisi sejumlah ketentuan dalam UU No. 34/2004. Perubahan yang paling politis dan kontroversial adalah perluasan ruang bagi prajurit TNI untuk ditempatkan pada jabatan-jabatan di kementerian/lembaga tertentu serta penegasan mekanisme penempatan dan syarat-syaratnya. Di samping itu ada penyesuaian ketentuan tentang masa dinas, jenjang kepemimpinan, dan peran TNI dalam "tugas non-militer" yang menurut pemerintah bertujuan modernisasi dan efisiensi organisasi. Pemerintah dan DPR menyatakan bahwa aturan baru bersifat limitatif dan bertujuan memperkuat transformasi TNI.Â
Namun, tajuk perdebatan bukan hanya soal teknis organisasi---melainkan soal politik konstitusional: apakah UU ini membuka pintu bagi keterlibatan aktif TNI di ranah sipil, dan apakah mekanisme pembatasannya cukup kuat untuk mencegah politisasi militer. Berita dan laporan awal yang beredar menyorot Pasal tentang penempatan prajurit pada kementerian/lembaga serta pengecualian-pengecualian yang memungkinkan pejabat aktif berperan di birokrasi tertentu.Â
Apa isi Tap MPRS No. XXIV/1966 --- dan relevansinya sekarang?
Tap MPRS No. XXIV/MPRS/1966 adalah ketetapan yang memuat kebijakan negara dalam bidang pertahanan dan keamanan pada konteks tahun 1966. Dokumen ini dihasilkan dalam momentum politik yang berbeda (pasca-G30S/PKI) dan menegaskan kebijakan negara mengenai struktur, peran, dan tanggung jawab kekuatan pertahanan keamanan dalam menjaga kedaulatan dan stabilitas nasional. Sejarahnya mengandung nuansa yang berbeda dibandingkan era reformasi: norma politik dan hubungan sipil-militer pada 1966 tidaklah sama dengan prinsip supremasi sipil dan pemisahan tugas sipil--militer yang diusung pasca-1998.Â
Penting mencatat: Tap MPRS 1966 bersifat kebijakan kenegaraan dalam konteks perang dingin, konsolidasi nasional, dan rekonstruksi keamanan. Ia bukan perangkat konstitusional yang, sendirian, mengkategorikan atau membenarkan keterlibatan militer dalam jabatan sipil menurut standar demokrasi kontemporer---tetapi Tap MPRS dapat dijadikan rujukan historis-politis ketika menimbang narasi legitimasi peran militer dalam negara.Â
Keselarasan normatif: titik temu antara UU 2025 dan Tap MPRS 1966
Ada beberapa titik di mana UU TNI 2025 dapat dikatakan selaras dengan semangat Tap MPRS 1966 --- dengan syarat pembacaan yang berfokus pada fungsi pertahanan negara:
1. Penegasan Peran Pertahanan dan Kedaulatan --- Keduanya menempatkan pertahanan sebagai fungsi vital negara yang memerlukan struktur yang kuat dan adaptif. UU 2025 menegaskan kewenangan TNI dalam menjaga kedaulatan dan modernisasi alutsista, yang dalam perspektif keamanan nasional merupakan kesinambungan dari orientasi Tap MPRS 1966 tentang perlunya kekuatan pertahanan yang andal.Â