Mohon tunggu...
dimas muhammad erlangga
dimas muhammad erlangga Mohon Tunggu... Aktivis GmnI

Baca Buku Dan Jalan Jalan Live In

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Dari 1945 ke 2025: TNI dan Amanat Penderitaan Rakyat yang Mulai Terlupa

5 Oktober 2025   03:25 Diperbarui: 5 Oktober 2025   03:25 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://news.detik.com/berita/d-8127630/tema-dan-logo-peringatan-hut-ke-80-tni-tahun-2025

Ketika Republik Indonesia lahir dari bara revolusi pada 1945, tentara --- plural: tentara rakyat, pejuang desa, barisan pemuda --- bukan sekadar alat kekuasaan. Mereka adalah perpanjangan tangan rakyat yang bersenjata untuk mempertahankan kedaulatan, sekaligus pilar harapan bagi kaum marhaen yang terjepit dalam kemiskinan, keterasingan, dan penjajahan struktural. Namun, memasuki usia 80 pada 5 Oktober 2025, TNI menghadapi ujian identitas: apakah masih setia pada amanat historis pembebasan rakyat kecil, ataukah mulai ditarik ke dalam logika negara-birokrasi dan kepentingan elit baru? Perayaan di Monumen Nasional (Monas) pekan ini menjadi momen refleksi yang tak bisa kita lewatkan. 

Sejarah Republik mengajarkan dua hal penting tentang posisi tentara. Pertama, pada masa revolusi, milisi dan barisan pemuda berjuang berdampingan dengan rakyat; kedekatan itu menghasilkan legitimasi politik dan moral. Kedua, para pendiri republik --- termasuk Bung Karno --- memberi peringatan tegas: angkatan perang harus berjiwa, tetapi angkatan perang tidak boleh ikut-ikut politik praktis. Kata-kata Soekarno---yang berkali-kali menegaskan bahwa Angkatan Perang "tidak boleh ikut-ikut politik"---bukan sekadar retorika; ia adalah pijakan normatif untuk menjaga tentara tetap menjadi penjaga (protector) bukan penguasa (governor). 

 "Padahal Angkatan Perang tidak boleh ikut-ikut politik, tidak boleh diombang-ambingkan oleh sesuatu politik. Angkatan Perang harus berjiwa --- ya berjiwa, berapi-api berjiwa, berkobar-kobar berjiwa --- tetapi ia tidak boleh ikut-ikut politik. Angkatan Perang adalah alat-kekuasaan Negara, alat-senjata --- alat, alat --- sekali lagi alat! Alat ini harus tetap tajam, tetap ampuh, tetap sakti, tidak tergantung dari tangan yang memegangnya, asal tangan itu ialah tangannya Negara." (Sukarno, 17 Agustus 1953)

Namun realitas 2025 memperlihatkan tren yang mengkhawatirkan. Tahun ini, DPR dan pemerintah mengesahkan perubahan aturan yang memperluas peran personel militer dalam jabatan sipil --- kebijakan yang dipandang banyak pengamat sebagai pembukaan kembali ruang bagi peran politik militer yang lebih luas. Kritik datang dari akademisi, pegiat HAM, dan pemuda yang menilai kebijakan itu berpotensi mengaburkan garis sipil-militer dan melemahkan akuntabilitas demokrasi. Dalam konteks ini, peringatan Soekarno terasa mendesak: apakah angkatan bersenjata kembali ditempatkan di ruang yang bukan hakikatnya? 

Pertanyaan mulai tajam ketika kita menengok realitas operasi militer dalam negeri: konflik bersenjata dan operasi keamanan di wilayah-wilayah seperti Papua terus memicu protes hak asasi dan kekhawatiran kemanusiaan. Publik layak menuntut transparansi: siapa yang menjadi prioritas perlindungan --- warga sipil marjinal di pedalaman, atau citra negara di panggung internasional? Saat TNI memamerkan alutsista dan defile di ibu kota, ada desa-desa yang menunggu penyelesaian konflik, pemulihan korban, dan jaminan keamanan yang nyata bagi kehidupan sehari-hari rakyat kecil. Pesta parade tidak boleh menutupi tanggung jawab terhadap penderitaan yang belum terselesaikan. 

Dari perspektif marhaen --- landasan etis Marhaenisme yang menempatkan nasib petani, buruh, dan kelas kecil sebagai pusat analisis politik --- tugas TNI seharusnya jelas: menjaga kedaulatan, melindungi rakyat dari ancaman eksternal, dan tidak menjadi instrumen penindasan dalam negeri yang menambah penderitaan sosial-ekonomi. Tokoh-tokoh progresif revolusioner Indonesia juga memberikan ingatan serupa. Tan Malaka, misalnya, menegaskan pentingnya keterkaitan organisasi politik dengan massa; setiap kekuatan militer yang terlepas dari kontrol rakyat berisiko menjadi alat penguasa. Kutipan-kutipan ini bukan nostalgia semata; ia harus menjadi lensa kritis dalam menilai posisi TNI hari ini. 

"Aksi-massa tidak mengenal fantasi kosong seorang tukang putch atau seorang anarkis atau tindakan berani dari seorang pahlawan. Aksi-massa berasal dari orang banyak untuk memenuhi kehendak ekonomi dan politik mereka. Ia disebabkan oleh kemelaratan yang besar (krisis ekonomi dan politik) dan siap, bilamana mungkin, berubah menjadi kekerasan. ... Permohonan rakyat yang pantas tidak didengarkan. Pendidikan dan pemimpin rakyat yang dipercayai rakyat dicap dan diperlakukan seperti penghasut dan bandit ..." (Tan Malaka, 1926)

Argumen yang tajam diperlukan: ketika undang-undang atau praktik baru memberi kesempatan personel militer untuk mengisi jabatan sipil strategis, kita harus menanyakan implikasinya terhadap redistribusi kekuasaan ekonomi. Rezim yang memperluas ruang pengaruh militer di birokrasi bisa mempermudah aliansi negara--kapital yang mengabaikan kebutuhan marhaen: akses tanah, layanan kesehatan, pendidikan dasar, dan perlindungan sosial. Dalam terminologi ilmiah politik, itu adalah pergeseran dari negara welfare-laden kepada state-capture oleh koalisi ekonomi-politik baru --- yang dalam jangka panjang memperbesar ketimpangan. Bukankah prioritas republik adalah mengurangi penderitaan, bukan merestrukturisasi kekuasaan demi stabilitas elit? 

Tetapi kritik tanpa solusi adalah sekadar retorika. Jika TNI ingin membuktikan bahwa ia masih berjiwa rakyat---sebagaimana diingatkan Bung Karno---maka institusi ini harus menegakkan tiga prinsip praktis: (1) pemisahan tegas fungsi sipil dan militer, dengan mekanisme check-and-balance yang transparan; (2) prioritas operasi keamanan yang pro-rakyat, yakni proteksi terhadap warga sipil, penyelesaian konflik berbasis HAM, dan rehabilitasi pasca-konflik; (3) keterlibatan TNI dalam program pembangunan harus berbasis pada kebutuhan komunal lokal dan diawasi oleh lembaga sipil yang independen. Ketiga prinsip ini bukan sekadar normatif, melainkan alat praktis untuk menutup celah yang memungkinkan militer menjadi penjaga kepentingan elit. 

Kata-kata Soekarno berulang-ulang menegaskan bahaya angkatan bersenjata yang "ikut-ikut politik"---bukan untuk mengekang peran patriotik mereka, melainkan untuk mencegah penyalahgunaan senjata sebagai instrumen dominasi domestik. Dalam konteks modern, itu berarti memelihara profesionalisme TNI sekaligus memperdalam akuntabilitas publik. Sementara para tokoh progresif revolusioner mengingatkan kita bahwa revolusi sejati tidak cukup berhenti pada pengusiran penjajah; revolusi sejati mengukur keberhasilannya dari pengurangan penderitaan rakyat kecil dan pemerataan kesejahteraan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun