Rencana pembangunan halte Bus Rapid Transit (BRT) Bandung Raya bergerak cepat. Pemerintah Kota Bandung menargetkan 25 halte tematik rampung pada 2025 sebagai simpul pengumpan (feeder) menuju koridor utama BRT; angka ini muncul berdampingan dengan informasi lain bahwa kota juga menyiapkan 34 halte khusus BRT. Di lapangan, bahkan ada pemberitaan tentang 38 halte pada salah satu koridor awal yang dimulai September 2025. Perbedaan angka ini menunjukkan dua hal: dinamika desain (feeder vs koridor utama) dan betapa cairnya koordinasi lintas level pemerintahan di tahap persiapan. Yang pasti, pembangunan fisik BRT Bandung Raya dimulai 2025 dan ditarget bertahap hingga 2027 sesuai rencana Kementerian Perhubungan dan Pemprov Jabar.Â
Di sisi lain, kebijakan penataan ruang menyertai konstruksi. Pemkot Bandung mulai membahas penertiban sekitar 1.500 pedagang kaki lima (PKL) di sepanjang jalur halte/koridor---bahasa teknokratisnya: "penataan"; tafsir marhaenisnya: "siapa menanggung ongkos modernisasi?". Jika penataan direduksi menjadi relokasi tanpa skema nafkah yang adil, maka modernisasi transportasi berpotensi beralih rupa menjadi komersialisasi ruang publik---dari ruang hidup marhaen menjadi ruang transit yang dipoles estetika.Â
Data, janji, dan realitas ruang kota
Dari sisi kebijakan, pemerintah menegaskan BRT akan memiliki jalur khusus 21 km di koridor utama dalam kota, terhubung ke rute Bandung Raya. Targetnya, layanan lebih tepat waktu, murah, dan nyaman. Pada tataran jaringan, pernah disebut gambaran besar: 21 rute, 34 stasiun utama, 768 halte di luar koridor, 579 bus---walau angka ini jelas berada di tingkat rencana makro dan akan berubah mengikuti pendanaan serta desain akhir. Pubik butuh transparansi mana yang firm (telah dikontrak) dan mana yang indicative (rencana). Tanpa kejelasan, diskursus publik mudah terseret ke slogan "ikonik dan artistik"---padahal yang ditagih marhaen adalah akses, biaya, dan keberlangsungan nafkah.Â
Sorotan kedua: biaya dan estetika halte. Narasi "halte tematik bernuansa artistik-khas Bandung" mengemuka, dengan pemberitaan estimasi anggaran sekitar Rp 33 miliar untuk 25 halte feeder. Di satu sisi, identitas kota itu penting; di sisi lain, estetika tak boleh mengalahkan fungsi universal halte: teduh, aman, aksesibel difabel, terhubung first/last mile, dan menyatu dengan kantong parkir sepeda. Di sini publik berhak menguji value for money: apakah Rp rata-rata per unit dialokasikan lebih banyak untuk ornamen, atau untuk aksesibilitas (landai ramp, guiding block), keselamatan (penerangan, CCTV), dan integrasi (trotoar, jalur sepeda, kantong drop-off)?Â
Ketiga, warisan persoalan halte lama. Laporan jurnalisme warga menunjukkan banyak halte lama terbengkalai, sebagian sudah direvitalisasi (Merdeka, Cimekar, Moh. Toha--PT INTI), tetapi "PR" aksesibilitas dan konektivitas masih tebal. Transisi dari halte lama ke halte BRT/feeder harus menutup service gap---jangan sampai pembangunan baru hanya memindahkan masalah lama ke lokasi yang lebih "instagramable".Â
Perspektif marhaen: siapa membayar, siapa menikmati?
Dalam Jalannya Revolusi Kita, Soekarno menekankan mobilisasi tenaga semesta untuk "pembangunan semesta"---bahwa proyek kebangsaan tak boleh hanya kerja elite, melainkan ikut-berrevolusi seluruh rakyat. Prinsip ini menuntut partisipasi substantif, bukan sekadar sosialisasi one way. "Pembangunan semesta tak mungkin berhasil tanpa mobilisasi tenaga semesta pula." Jika PKL, pekerja informal, difabel, buruh harian, dan warga kampung kota hanya menjadi "objek penggusuran halus", maka semangat front nasional yang menggalang gotong royong telah tergelincir.Â
Dalam Genta Suara Revolusi Indonesia, Bung Karno juga mengingatkan agar rakyat jangan hanya menjadi penonton. Relevansinya gamblang: perencanaan halte dan koridor harus membuka kanal co-design---musyawarah yang berujung pada perubahan nyata desain, bukan formalitas konsultasi. Tanpa itu, kita hanya memindahkan beban ke pundak marhaen, sementara nilai tambah ekonomi ruang (kenaikan sewa, iklan, konsesi) dinikmati pemodal.Â
Di ranah metode berpikir, Tan Malaka mengajarkan Madilog: materialisme--dialektika--logika---cara pikir antidogmatik yang menolak mistifikasi kebijakan. Dengan Madilog, kita menolak diksi "ikonik" bila angka on-time performance, headway, dan in-vehicle time tidak dipertanggungjawabkan. Dialektikanya sederhana: jika jalur khusus tersambung, halte layak, integrasi antarmoda rapi, PKL tidak tersingkir---maka BRT adalah modernisasi yang memerdekakan; jika tidak, ia berubah menjadi komodifikasi ruang kota.Â