GMNI---organisasi mahasiswa yang lahir dari rahim sejarah pergerakan nasional---tengah menghadapi paradoks terbesar dalam eksistensinya: di satu sisi mengusung Marhaenisme sebagai azas perjuangan, di sisi lain terseret arus transaksional Pemilu 2024 dan residunya dalam pilkada serentak. Dalam pusaran itu, GMNI bukan hanya "terlibat"; ia menjadi korban: diperebutkan oleh jejaring elite, dikapitalisasi oleh faksi yang berlomba merebut legitimasi marhaen, dan akhirnya terbelah dalam krisis kepemimpinan. Fakta-fakta paling mutakhir memperlihatkan pola ko-optasi yang sistemik terhadap ruang organisasi, menggeser kaderisasi dari arena pendidikan politik menjadi arena mobilisasi elektoral.
Sejak kelahirannya pada 23 Maret 1954, GMNI dibangun sebagai rumah kader marhaenis---hasil fusi organisasi-organisasi mahasiswa berhaluan Soekarnois---yang mandat historisnya mendidik intelektual-pelitik untuk tugas kebangsaan, bukan sekadar menjadi "mesin kampanye" siapa pun. Prinsip dasar itulah yang menjadikan GMNI unik dalam ekologi kemahasiswaan Indonesia. Tetapi ide besar itu kini terpapar badai. Kita melihat gejala elektoral-isme merangsek masuk ke dapur organisasi, menukar disiplin kaderisasi dengan logika proyek, dana, dan posisi. Krisis ini tak lahir dari ruang hampa; ia dipercepat oleh ketegangan politik 2024 yang menumpuk hingga 2025.Â
Sejarah singkat, amanat panjang
GMNI berdiri di awal dekade 1950-an untuk menghela gagasan Marhaenisme---sebuah pembacaan Soekarno atas realitas rakyat pekerja Nusantara. Dalam teks-teks awalnya, Soekarno menegaskan bahwa "Marhaen Indonesia tidak pernah merdeka" sepanjang struktur sosial-ekonomi menempatkan rakyat kecil sebagai objek kekuasaan; di sini Marhaenisme adalah metode emansipasi, bukan slogan kosong. Ia bukan romantika masa lalu; ia alat analisis untuk menilai apakah organisasi masih berpihak pada rakyat marhaen atau sudah menyimpang.Â
Marhaenisme menuntut organisasi kader---sekolah politik yang membiasakan akal sehat, keberpihakan kelas, dan kerja kerakyatan. Di atas pondasi itu, Pancasila yang dibacakan Soekarno pada 1 Juni 1945 menempatkan gotong royong sebagai perasan nilai: "Jika saya peras yang lima menjadi tiga... menjadi satu, maka yang satu itu ialah gotong-royong." Gotong royong bukan eufemisme kompromi; ia disiplin kolektif untuk kerja bersama di atas kepentingan sempit. Jika gotong royong direduksi jadi dagang pengaruh, organisasi akan lumpuh oleh patronase.Â
Berita terkini: krisis organisasi di tahun politik
Sesudah Pemilu 2024 dan menuju Pilkada 27 November 2024, jejak elektoral-isme menampakkan akibatnya. Di tingkat akar rumput, kita melihat GMNI turun ke jalan mengkritik praktik-praktik pemilu lokal---misalnya aksi di Banjar, Jawa Barat (Januari 2024) yang mendesak penegakan hukum atas dugaan pelanggaran pemilu, serta peringatan Bawaslu Serang (November 2024) terhadap aktivitas politik praktis kaum muda di ruang publik. Ini menunjukkan tensi elektoral merembes ke ruang mahasiswa dan komunitas kota. Lebih dari ini bahkan mayoritas kader kader atau anggota anggota GmnI berada di kursi nyaman selama perhelatan pemilu kemarin karena mendukung kandidat tertentu hanya karena si kandidat a tersebut adalah seorang "alumni", atau kandidat si b yang membawa nafas Ideologi yang dianut GmnI itupun kebanyakan mendapat instruksi dari seniornya sendiri. Jelas sekali semangat GmnI mulai benar benar diréduksi Total dari sini hingga GmnI melemah setelah "kongres" tidak jelas di Bandung, Juli Kemarin.
Kulminasinya tampak pada "Kongres XXII GMNI" di Bandung yang dibuka 15-24 Juli 2025. Alih-alih menjadi forum konsolidasi gagasan dan kaderisasi, kongres ini dibayangi isu dual kepemimpinan kembali (Dan sekarang melahirkan Kepemimpinan DPP yang berkembar 3-5 kubu) dan tarik-menarik legitimasi. Peliputan berbagai media menyorot adanya dua versi pimpinan nasional dan dinamika mosi tidak percaya, hingga agenda kongres berulang kali molor karena gesekan internal---gejala klasik organisasi yang sedang ditarik ke orbit kekuatan eksternal. Ini bukan peristiwa biasa; ia penanda bahwa struktur organisasi diseret ke pertarungan kooptatif pasca-Pemilu.Â
Dari kaderisasi menjadi mobilisasi: mekanisme ko-optasi
Pertama, dominasi sumber daya. Ketika akses dana dan fasilitas kongres bergantung pada patron eksternal, maka agenda organisasi rawan disetir. Hegemoni logistik melahirkan "loyalitas pragmatis", memperlemah disiplin ideologis dan memperkuat kultur transaksional.