Dalam Islam, seksualitas bukan hal yang kotor. Justru ia adalah bagian dari fitrah, sebagaimana disebut dalam QS Ar-Rum ayat 30. Allah menciptakan manusia berpasangan antara laki-laki dan perempuan, untuk saling melengkapi secara lahir dan batin.
Ketika ada yang menyimpang dari fitrah itu, seperti pada kisah kaum Nabi Luth, Islam dengan tegas menyebut perbuatan itu sebagai fahisyah, perilaku keji yang melampaui batas (QS Asy-Syu’ara: 165-166).Â
Namun, yang penting untuk digarisbawahi: yang dikecam adalah perbuatannya, bukan eksistensi manusianya.
Adakah Kasus Serupa di Zaman Nabi dan Sahabat?
Jika merujuk pada literatur klasik Islam, fenomena homoseksual bukanlah hal baru. Bahkan Al-Qur’an sendiri telah mencatat kisah tragis kaum Nabi Luth yang menjadi simbol penyimpangan seksual secara terang-terangan.
Namun, apakah ada kasus serupa di masa Nabi Muhammad SAW?
Dikutip dari kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, salah satu ulama Hanbali, disebutkan bahwa tidak ada riwayat yang shahih tentang seseorang yang mengaku melakukan perbuatan homoseksual di masa Rasulullah secara terang-terangan.Â
Kalaupun ada, kasusnya sangat jarang dan tidak dijadikan konsumsi publik, mengingat budaya malu dan takut akan dosa masih sangat tinggi di tengah masyarakat Islam saat itu.
Menurut Syekh Yusuf al-Qaradawi dalam kitab al-Halal wal-Haram fil Islam, tindakan homoseksual termasuk dosa besar, tetapi dalam penanganannya, Nabi lebih banyak menekankan pada pencegahan, tarbiyah, dan kontrol sosial berbasis adab dan iman, bukan sekadar hukuman.
Sementara itu, dikutip dari Musannaf karya Ibn Abi Syaibah (jilid 7), ada riwayat tentang seorang laki-laki yang memiliki ciri kewanitaan (mukhannats) di masa Nabi.Â
Rasulullah SAW tidak langsung menghukumnya, namun menasihatinya dan memerintahkan agar tidak membaur dengan perempuan, karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah.