Bahkan di dalam riset saya, di akun X terutama, banyak sekali gadis-gadis muda, atau bahkan perempuan berusia matang melakukan hal lebih gila dari apa yang dilakukan Salsa.
Kebanyakan "penonton" mereka adalah para pemain judi online (judol) yang terpancing dan digoda agar tetap bertahan di situs jahat tersebut.
Uniknya, fenomena guru joget-joget ini bukan hanya konten milik Salsa saja. Saya melihat bukan saja joget, tapi ada juga yang bernyanyi bersama murid-muridnya sambil bergoyang mengikuti tren.
Meski tak semua konten para guru menunjukkan hedonitas belaka, namun sepertinya kita harus prihatin ketika melihat para pendidik ini malah ikut-ikutan berkonten.
Kurang uangkah? Mungkin ini pertanyaan sekaligus jawaban yang harus menjadi perhatian pemerintah agar kualitas pendidik di negeri ini semakin meningkat.
Dulu, sekitar tahun 2004, saya pernah mengikuti sebuah kompetisi film dokumenter yang mengangkat kisah tentang mirisnya dunia pendidikan di Indonesia (kalau tidak salah temanya berkisar tentang itu).
Saya bersama teman di komunitas, mengangkat cerita tentang seorang pekerja sosial yang memiliki Taman Kanak-kanak dan menceritakan tentang aktivitasnya.
Kemudian yang berhasil memenangkan penghargaan pertama adalah film karya Sutradara Jastis Arimba dengan cerita seorang kepala sekolah pemulung.
Saat itu, apa yang dikerjakan terlihat kotor dan hina, namun, jika dibandingkan dengan sikap dan tindakan para guru yang berkonten di media sosial, rasanya ia masih jauh lebih mulia.
Terutama di akun Tiktok, setiap konten yang tayang terutama jika live, memang bisa mendatangkan cuan yang besar jika konsisten membuat dan menayangkan kontennya.
Tak heran jika mereka tergiur, karena saya juga tergiur untuk mencoba mendapatkan cuan dari membuat konten di media sosial.