Mohon tunggu...
Dimas Jayadinekat
Dimas Jayadinekat Mohon Tunggu... Author, BNSP Certified Screenwriter, Public Speaker, Enterpreneur Coach

Penulis buku Motivasi Rahasia NEKAT (2012), Penulis Skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi (2013-kini), Penulis Rubrik Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan Harian TERBIT (2011-2013), Content Creator di Bondowoso Network, Pembicara publik untuk kajian materi Film, Skenario, Motivasi, Kewirausahaan, founder Newbie Film Centre

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kisah Kelam Dunia Pendidikan Kita, Ketika Guru Akhirnya Menjadi Korban

14 Februari 2025   05:47 Diperbarui: 14 Februari 2025   05:47 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Kelam Dunia Pendidikan Kita, Foto oleh Alex P: pexel.com 

Pagi ini saya dipaksa merenung setelah membaca sebuah berita. Lagi-lagi, saya membaca kabar yang membuat dada sesak.

Dilansir dari berbagai sumber, seorang guru di Sampang, Madura, meninggal dunia setelah dianiaya oleh muridnya sendiri.

Namanya Ahmad Budi Cahyono. Ia mengajar seni rupa di sebuah SMA. 

Sungguh, saya tidak habis pikir. Seorang guru, yang seharusnya dihormati, justru menjadi korban kekerasan oleh muridnya sendiri.

Dikutip dari berita yang beredar, peristiwa itu terjadi saat Budi tengah mengajar. 

Ia menegur seorang murid yang tidak serius mengikuti pelajaran. Namun, teguran itu berujung petaka. 

Murid tersebut marah dan menyerang Budi. Akibatnya, Budi mengalami cedera serius di bagian leher dan akhirnya dinyatakan meninggal dunia karena mati batang otak.

Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun...

Saya tercekat. Ini bukan sekadar berita kriminal biasa. 

Sekali lagi, ini adalah tanda bahwa ada sesuatu yang salah di negeri ini, dari sekian banyak kesalahan yang jadi PR kita bersama untuk membenahinya

Saya bertanya-tanya, sejak kapan seorang murid begitu berani menganiaya gurunya?

Bukankah dulu guru adalah sosok yang paling dihormati, bahkan dianggap sebagai orang tua kedua? 

Saya ingat, dulu saat sekolah, hanya berani menatap mata guru pun sudah menjadi keberanian luar biasa. 

Ada rasa segan. Ada rasa takut, bukan karena guru akan menyakiti, tetapi karena dalam hati, saya tahu bahwa guru adalah orang yang harus dihormati.

Tapi sekarang? Entah bagaimana, batas antara murid dan guru semakin kabur.

Mengutip dari pernyataan berbagai pakar pendidikan, salah satu penyebab hilangnya rasa hormat ini adalah kurangnya keteladanan moral. 

Kita hidup di zaman di mana penghormatan tidak lagi diajarkan dengan sungguh-sungguh. 

Banyak orang tua yang sibuk, menyerahkan seluruh pendidikan moral kepada sekolah, sementara di sekolah, guru hanya diberi ruang sebatas menyampaikan pelajaran akademik.

Lalu, siapa yang mengajarkan budi pekerti?

Saya jadi teringat kata-kata lama yang sering diucapkan orang tua kita: "Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa." 

Tapi hari ini, sepertinya julukan itu hanya tinggal kenangan. 

Bagaimana mungkin seorang pahlawan justru dianiaya oleh orang yang seharusnya ia bimbing? 

Bagaimana mungkin seorang guru yang berniat mendidik malah harus kehilangan nyawanya di tangan murid sendiri?

Saya semakin sadar bahwa moral bangsa ini sedang mengalami kemunduran yang serius.

Kita semakin terbiasa dengan kekerasan, baik di dunia nyata maupun di media sosial. 

Kita semakin mudah tersulut emosi. Murid tidak lagi memandang guru sebagai sosok yang harus dihormati, melainkan hanya sebagai seseorang yang kebetulan berdiri di depan kelas.Dikutip dari berbagai penelitian tentang pendidikan, krisis keteladanan adalah akar dari banyak permasalahan sosial. 

Anak-anak kehilangan figur yang bisa mereka teladani. 

Di rumah, orang tua sibuk mencari nafkah. Di sekolah, guru tak lagi punya wewenang untuk mendisiplinkan murid. 

Di masyarakat, figur panutan lebih sering datang dari media sosial---dari orang-orang yang mungkin sama sekali tidak memiliki nilai moral yang baik.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan?

Saya tidak punya jawaban pasti. Tapi satu hal yang jelas, kita harus mulai dari diri sendiri.

Kita harus kembali membangun budaya hormat, bukan hanya di sekolah, tetapi di rumah, di lingkungan, di setiap interaksi sosial. 

Anak-anak harus melihat keteladanan, bukan hanya mendengar nasihat kosong.

Jika tidak, entah akan jadi seperti apa masa depan bangsa ini.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun