Karena itu, atas saran dari Jenderal Sudirman, Presiden Sukarno diminta mengirim utusan khusus untuk menemui KH. Hasyim Asy'ari di Ponpes Tebu Ireng Jombang, untuk meminta fatwa bagaimana hukumnya berjihad membela negara yang notabene bukan negara Islam  untuk melawan Inggris dan Belanda.
Kyai Hasyim Asy'ari mengumpulkan para ulama se-Jawa dan Madura. Dan akhirnya pada tanggal 22 Oktober 1945 beliau memimpin delegasi NU dari para ulama dan santri di Kantor Pusat NU Jl. Pungutan surabaya. Dari hasil pertemuan, dikeluarkanlah 'resolusi jihad' Â melawan musuh (Inggris dan Belanda).
Maka santri-santri dari berbagai ponpes di Jawa Timur, termasuk Laskar Hizbullah dan Sabilillah datang ke Surabaya untuk bersiap melakukan jihad. Dan puncaknya pecahlah Perang Surabaya pada tanggal 10 November 1945, yang sebenarnya lebih banyak dilakukan perlawanan dari para ulama dan santri-santri dari berbagai ponpes se-Jawa dan Madura, bukan hanya arek-arek Suroboyo!
Bahkan KH. Hasyim Asy'ari menganjurkan seruan 'Allahu Akbar' sebagai penyemangat bagi para santri untuk mendapatkan kemenangan atau mati syahid.Â
Kata 'Allahu Akbar' yang fenomenal inilah yang digunakan Bung Tomo melalui radio, untuk membakar semangat para santri saat itu.
Karena kobaran semangat jihad fisabilillah, akhirnya Inggris dan Belanda kewalahan dan tidak mampu menguasai Surabaya. Padahal sebelumnya mereka sombong dan merasa mudah menguasai Surabaya.Â
Namun sayangnya, resolusi jihad NU ini seolah dilupakan karena tidak tercatat dalam sejarah resmi Indonesia. Dan ada upaya menghilangkan jejak dan peran kyai dan santri dalam perjuangan menegakkan kemerdekaan. Karena milisi Hizbullah dan Laskar Santri yang berperan penting dalam Perang Surabaya, didepak dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR) saat itu. (paradigmabangsa.com, 22/10/2016)
Walaupun saat ini resolusi jihad diperingati sebagai Hari Santri tiap 22 Oktober, namun apakah peringatan ini mampu menjadi pengingat akan peran hakiki pesantren dalam kebangkitan umat?
Tema besar Hari Santri 2025, "Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia" seolah memberi harapan indah. Namun dalam kehidupan sekuler liberal saat ini, tujuan mulia itu sepertinya akan sulit terwujud jika terjadi pengokohan sekulerisme di pesantren.Â
Faktanya, terlihat adanya distorsi posisi strategis pesantren dalam mencetak ulama dan pemimpin peradaban. BahkanÂ
santri diposisikan sebagai duta budaya dan motor kemandirian ekonomi. Padahal hal ini kontraproduktif dengan peran santri sesungguhnya sebagai pewaris nabi.