Perlawanan Sunyi Seorang Pipiet Senja
(Mengenang Kepergiannya)
Oleh Dikdik Sadikin
ADA orang yang menulis karena ingin diingat.
Ada pula yang menulis karena ingin didengar.
Tapi Pipiet Senja menulis karena ingin hidup. Karena hanya itu satu-satunya cara untuk tetap bertahan di dunia yang sering kali tak berpihak kepada tubuh yang rapuh.
Aku pertama kali bertemu Pipiet Senja pada Februari 2023, di ajang International Minangkabau Literacy (IMLF) pertama di Padang dan Bukittinggi. Di antara udara lembab Bukit Barisan, perempuan yang telah sepuh itu berjalan tertatih, wajahnya pucat tapi matanya menyala. Ia tertawa kecil sambil berkata kepadaku,
"Kang Dikdik, apa pun yang terjadi pada diri dan sekitar kita, jangan lupa menulisnya ya... kayak saya waktu nyusruk di depan Rumah Gadang. Hehe, jatuh pun kalau ditulis bisa jadi cerita."
Kami tertawa. Tapi di balik tawa itu, aku tahu ada kesungguhan yang tenang. Pipiet Senja memang menulis tentang apa saja---bahkan tentang jatuh di depan Rumah Gadang.
Ia menulis luka menjadi catatan, menulis sakit menjadi semangat. Karena bagi Pipiet, menulis bukan sekadar kegiatan literer, tapi sebuah bentuk zikir panjang: cara tubuh yang sakit bicara kepada semesta.
***