Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jejak Kang Acil di Ujung Sajadah

3 September 2025   16:43 Diperbarui: 3 September 2025   22:09 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Acil Bimbo (Sumber: Kompas/Iwan Setiyawan/Jimmy S Hariyanto)

Kang Acil telah pergi. Ia menyisakan kenangan dan nasihat tentang hidup, tentang sajadah yang tak pernah putus, tentang doa yang menyambung tanpa henti, hingga berhenti di tepian liang lahat kita.

Raden Darmawan Dajat Hardjakusumah, atau Acil Bimbo, yang biasa kami panggil akrab "Kang Acil", wafat pada malam Senin, 1 September 2025. Ia pergi, seperti bait terakhir sebuah lagu yang lirih tentang kesendirian, juga tentang akhir sebuah sajadah panjang.

Bimbo tempat Acil bergabung di dalamnya adalah grup musik yang lahir di Bandung tahun 1966. Mula-mula hanya tiga bersaudara: Acil sendiri bersama saudaranya Sam dan Jaka. 

Kemudian Iin Parlina bergabung. Dalam pentas musik Indonesia, suara mereka menjelma menjadi harmoni yang lengkap dan dalam. Dari musik yang mendekati irama latin, mereka menyusuri jalan keseharian: cinta, kesepian, doa, juga kritik sosial.

Suara Acil sering menjadi ruh. Dengarlah lagu Sendiri, karya Titiek Puspa: "Sendiri, kini aku sendiri lagi... Berteman sedih dan air mata, bercumbu dengan duka nestapa..."

Senandung itu bukan sekadar kisah cinta yang retak. Di dalamnya ada luka manusia modern: terasing, merana, menutup mata dan hati dari cinta yang terlarang. Acil menyanyikannya dengan nada getir, seakan ia mengerti benar: ada sepi yang tak dapat dihibur siapa pun.

Atau Cinta, yang dilantunkan Acil Bimbo dari buah tangan Titiek Puspa. Sebuah janji yang patah, sehidup-semati yang berubah menjadi ingkar.

"Oh, Tuhan, tunjukkanlah dosa dan salahku... Semudah dia buat janji, semudah dia ingkar janji..."
Cinta, di tangan Bimbo, tak hanya manis. Ia bisa kejam, pedih, mengiris. Tapi justru karena itulah ia nyata.

Namun Acil juga menghadirkan cinta dalam bentuknya yang paling lembut. Dalam Adinda, ia menyanyikan kasih yang penuh kehangatan:

"Sejuknya embun dini hari, sesejuk tutur senyum kau beri... Hangatnya sinar matahari, sehangat cinta yang kau beri..."

Lagu itu seperti surat cinta yang tidak pernah basi: sederhana, jujur, tapi abadi. Ada senyum, ada cahaya, ada permata hati. Sebuah pengakuan bahwa hidup bisa begitu indah hanya karena ada "Adinda".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun