Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seratus Tahun Mahathir: Disiplin yang Menunda Tua

15 Juli 2025   22:21 Diperbarui: 15 Juli 2025   22:55 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mahathir Mohamad. (Ilustrasi: DALL-E)

Sayangnya, kedisiplinan ini semakin langka di dunia modern yang makin nyaman, namun makin tak bergerak. Kita memasuki era yang disebut para ahli sebagai era sedentari atau gaya hidup minim aktivitas fisik. Terlalu lama duduk, dan jarang menggerakkan tubuh. Seharian di kursi kantor, malamnya di sofa empuk menonton layar. WHO menyebut gaya hidup sedentari (sedentary lifestyle) sebagai "pandemi diam-diam" karena dampaknya yang luas: dari obesitas, diabetes, hipertensi, hingga penurunan fungsi otak. Dalam hidup seperti itu, tubuh berhenti menulis puisi harian dan berubah menjadi mencatat rekaman medis.

Di Jepang, negeri para centenarian, kebiasaan makan dalam porsi kecil, dengan istilah hara hachi bu atau makan hanya sampai 80% kenyang, berjalan kaki, dan hidup bermakna, membuat Okinawa dijuluki sebagai "Zona Biru" tempat orang hidup lama. Bukan karena mereka ingin panjang usia, tapi karena hidup mereka memang belum selesai.

Panjang Umur, Tapi Untuk Apa?

Mahathir tak hanya hidup lama. Ia tetap hidup dalam arti yang sesungguhnya: berpikir, menulis, berbicara, dan mengambil peran. Banyak yang berumur panjang, tapi tidak hidup. Mereka hidup dalam reruntuhan waktu yang hampa makna.

"Kalau hidupmu berguna, kamu akan terus ingin hidup," katanya. Kalimat ini menggemakan Viktor Frankl, dalam bukunya Man's Search for Meaning (1959), bahwa manusia bisa bertahan dalam penderitaan jika hidupnya memiliki tujuan. Gagasan ini juga bergema dalam sabda Nabi Muhammad SAW: 

"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya". 

Maka hidup yang panjang tidak cukup, jika tidak dibarengi dengan kebermanfaatan. Dan Mahathir memilih untuk terus bermanfaat, di usia yang membuat banyak orang memilih diam.

Dan Mahathir punya tujuan, bahkan ketika jantungnya sudah dioperasi tiga kali. Ia pernah terinfeksi paru-paru, pernah dilanda badai COVID, tapi tak menyerah pada tubuhnya. Banyak dari kita, baru saja terkena flu sudah merasa dunia akan berakhir.

Kebiasaan Kecil yang Terlupakan

Hidup sehat bukan tentang makanan organik yang seharga motor, atau keanggotaan di gym elite. Mahathir menunjukkan bahwa cukup dengan menolak satu sendok nasi tambahan dan memilih berjalan kaki alih-alih stres, kita sudah mulai menyelamatkan hidup.

Studi Harvard tentang kebahagiaan (Harvard Study of Adult Development) menunjukkan satu hal sederhana: orang yang hidup sehat dan bahagia adalah mereka yang punya hubungan sosial yang bermakna dan hidup yang terstruktur. Tidak perlu serum anti-aging atau meditasi sembilan jam sehari. Cukup tidur yang cukup, makan sewajarnya, berpikir positif, dan berbuat sesuatu yang punya dampak.

Mahathir memilih berjalan saat stres. Bukan marah di Twitter atau memaki pejabat pemerintah dari sofa. Ia memilih berpikir saat dunia kebingungan, dan diam saat dunia berisik. Menjadi tua, kata Simone de Beauvoir, adalah sebuah perlawanan terhadap kepunahan perlahan. Tapi Mahathir tampaknya malah menunda itu dengan cara yang elegan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun