Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Ketika Kita Melupakan Lagu Nenek Moyangku Seorang Pelaut

28 Juni 2025   11:48 Diperbarui: 30 Juni 2025   12:50 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: DALL-E dengan modifikasi Photoshop/Dikdik. 

Ketika Kita Melupakan Lagu Nenek Moyangku Seorang Pelaut

Oleh Dikdik Sadikin

 

22 Juni 2025. Kapal Hiu 01 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) meringkus sebuah kapal ikan asing berbendera Malaysia di Selat Malaka. Kapal itu mencoba kabur, memotong jaring pukat harimau, dan membawa ratusan kilogram hasil tangkapan ilegal.

Sehari sebelumnya, dua kapal Filipina juga ditangkap di perairan Sulawesi Utara. Masing-masing beroperasi tanpa izin, melanggar hukum laut Indonesia, dan mencuri ikan dalam jumlah besar.

Namun ini bukan pertama kalinya. Akhir Mei 2025, dua kapal Vietnam juga diciduk di Laut Natuna Utara, wilayah yang selama ini menjadi ladang penjarahan ikan berskala besar.

Menurut laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Global Fishing Watch, tak kurang dari 100 kapal asing, mayoritas berbendera Vietnam, terdeteksi memasuki perairan ini setiap tahunnya.

Satu kapal Vietnam diperkirakan menyebabkan kerugian hingga Rp61 miliar per tahun. Maka potensi kerugian negara bisa mencapai lebih dari Rp6,1 triliun per tahun, belum termasuk kerusakan ekosistem akibat penggunaan pair trawl, alat tangkap yang merobek dasar laut dan menghancurkan terumbu karang.

Pencurian ini, ironisnya, terjadi di negeri yang sejak kecil mengajarkan anak-anaknya lagu "Nenek moyangku seorang pelaut", tetapi seperti kehilangan arah menuju lautan. Sesudah nyanyian itu usai, kita tumbuh besar dengan punggung membelakangi laut.

Di negeri yang 70 persen wilayahnya adalah laut, justru tanah yang lebih banyak diolah. Kita menjadi bangsa agraris di negeri yang lebih banyak airnya daripada tanahnya. Petani kita jauh lebih banyak daripada nelayan. Kota-kota besar kita - Jakarta, Bandung, Yogyakarta, bahkan Ibu Kota Nusantara yang baru - dibangun jauh dari tepian laut. Seolah lautan adalah sesuatu yang asing, atau lebih tepatnya: sesuatu yang ditinggalkan.

Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki 17.504 pulau dan garis pantai sepanjang lebih dari 108.000 kilometer. Laut kita menyimpan potensi lestari perikanan sebesar 12,5 juta ton per tahun, namun yang termanfaatkan baru sekitar 6,8 juta ton menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2023.

Padahal potensi ekonomi kelautan Indonesia diperkirakan mencapai Rp3.000 triliun per tahun, tapi kontribusinya terhadap PDB nasional baru sekitar 7,4%. 

Bandingkan dengan Norwegia, negara kecil dengan garis pantai yang tak seberapa panjang, namun bisa mengekspor hasil laut lebih dari US$13 miliar per tahun, atau Jepang yang telah menjadikan laut sebagai jantung industrinya.

Sejarahnya pun seperti terlambat bangun. Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia baru lahir tahun 1999, di masa Presiden Abdurrahman Wahid. Sebelumnya, laut hanya urusan kecil sebatas direktorat di bawah kementerian pertanian, seolah ikan adalah sejenis sayuran air. Sebuah ironi yang panjang: negara yang katanya maritim, tapi institusi resminya baru dibentuk lebih dari 50 tahun setelah kemerdekaan.

Mungkin karena kita tidak pernah sungguh-sungguh mencintai laut. Tidak seperti bangsa Jepang, yang menjadikan laut sebagai ruang hidup dan sumber daya. Pelabuhan seperti Yokohama dan Kobe bukan hanya terminal logistik, tapi nadi ekonomi dan budaya. Atau Norwegia, yang mengekspor hasil laut melebihi produk industrinya. Atau bahkan Islandia, negeri kecil yang nyaris tak punya tanah subur, tapi punya laut yang dihormati. Sementara pelabuhan-pelabuhan kita? Dipenuhi tongkang batu bara, tempat parkir kapal asing, atau tak jarang jadi tempat transaksi ilegal. 

Kita membiarkan laut jadi medan rampokan. Kapal-kapal asing dari Vietnam, Tiongkok, Filipina, dan Thailand keluar masuk perairan kita seperti halaman sendiri.

Mereka bukan hanya mengambil, tapi juga merusak. Terumbu karang dibongkar. Biota laut punah. Dan radar pengawas kita seperti orang tua yang kelelahan berjaga malam.

Pencurian ikan menjadi luka abadi di perairan kita. Setiap tahun, menurut laporan Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUU), lebih dari Rp100 triliun potensi perikanan Indonesia lenyap dijarah kapal asing dari Vietnam, Tiongkok, Thailand, dan Filipina. Mereka masuk tanpa izin, dengan jaring pukat harimau, merusak terumbu karang dan mengambil ikan tanpa batas. 

Kita sering membayangkan penjajahan sebagai tentara dan meriam. Tapi sekarang, penjajahan datang lewat kapal penangkap ikan berbendera asing dan sistem radar yang kita biarkan mati.

Tidak hanya asing yang menjarah. 

Kita pun, rakyat Indonesia sendiri, menjadi perampok laut kita. Praktik korupsi di sektor kelautan begitu jamak. Dari kasus suap ekspor benih lobster senilai Rp100 miliar yang menjerat seorang Menteri KKP pada 2020, hingga mark-up pengadaan alat tangkap atau penguasaan wilayah laut untuk kepentingan tambang dan reklamasi. 

Laut menjadi korban dari kolusi birokrasi dan kapital. Nelayan kecil terpinggirkan, sementara para pemilik modal menguasai armada dan izin. Ini menjadi bukti bahwa laut kita bukan lagi sumber kehidupan, tapi komoditas kekuasaan.

Tak heran jika jumlah nelayan terus menyusut. Dari 2,7 juta nelayan pada 2015, menjadi hanya sekitar 2,3 juta di 2023. Sementara anak-anak muda, yang bahkan tumbuh dan besar di pesisir pun, lebih memilih menjadi kurir ojek daring daripada melaut. Karena tidak ada jaminan hidup di laut. Solar mahal. Es tak tersedia. Dermaga rusak. Di negeri maritim ini, menjadi nelayan adalah pilihan terakhir.

Kita telah kehilangan orientasi maritim. Bangsa yang kehilangan lautnya. Bahkan pelabuhan kita lebih sibuk mengurus komoditas tambang daripada hasil laut. Kota-kota besar dibangun membelakangi laut. Tak seperti San Francisco atau Amsterdam yang pelabuhannya menjadi pusat peradaban, kita justru mengurung laut di balik pagar industri, membuang limbah ke sana, menganggapnya halaman belakang.

Kita tidak membangun pelabuhan sebagai pusat peradaban, tetapi sebagai tempat logistik murahan. Kita buang limbah ke laut, reklamasi tanpa etika, membiarkan pantai berubah jadi beton.

Padahal, kata penyair Khalil Gibran, "Laut adalah segala-galanya. Ia adalah napas bumi." Tapi kita hidup tanpa menghirupnya. Kita seperti menutup paru-paru sendiri.

Dan Plato, dalam keheningan filsafatnya, menulis bahwa "kejahatan tumbuh dari kebodohan." Maka mungkin kebodohan kita adalah tak melihat laut sebagai masa depan. Kita membiarkan kapal-kapal asing mencuri karena kita tak tahu cara menjaga. Kita membiarkan anak-anak kehilangan mimpi sebagai pelaut karena kita tak tahu cara memberi harapan.

Laut bukan sekadar pemandangan biru dalam brosur wisata. Ia adalah sejarah, ekonomi, identitas, dan masa depan. Jika kita terus berpaling, bukan hanya ikan yang akan hilang. Tapi juga harga diri.

Maka pertanyaannya bukan sekadar siapa yang menjarah laut kita, tapi mengapa kita membiarkannya. Mengapa kita tidak pernah mengubah lirik "nenek moyangku pelaut" menjadi program konkret pembangunan maritim? Mengapa laut selalu datang belakangan dalam rencana pembangunan nasional? Mengapa anak-anak sekolah masih lebih sering diajak ke sawah ketimbang ke dermaga?

Laut bukan metafora. Ia adalah fakta yang menunggu dijaga, dikelola, dan dihormati. Jika tidak, kita akan menjadi bangsa yang bukan hanya kehilangan masa depan, tapi juga kehilangan ingatan: bahwa kita pernah hidup dari ombak dan angin, dan seharusnya tidak tenggelam karena kelalaian sendiri.

Bogor, 28 Juni 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun