Mungkin karena kita tidak pernah sungguh-sungguh mencintai laut. Tidak seperti bangsa Jepang, yang menjadikan laut sebagai ruang hidup dan sumber daya. Pelabuhan seperti Yokohama dan Kobe bukan hanya terminal logistik, tapi nadi ekonomi dan budaya. Atau Norwegia, yang mengekspor hasil laut melebihi produk industrinya. Atau bahkan Islandia, negeri kecil yang nyaris tak punya tanah subur, tapi punya laut yang dihormati. Sementara pelabuhan-pelabuhan kita? Dipenuhi tongkang batu bara, tempat parkir kapal asing, atau tak jarang jadi tempat transaksi ilegal.Â
Kita membiarkan laut jadi medan rampokan. Kapal-kapal asing dari Vietnam, Tiongkok, Filipina, dan Thailand keluar masuk perairan kita seperti halaman sendiri.
Mereka bukan hanya mengambil, tapi juga merusak. Terumbu karang dibongkar. Biota laut punah. Dan radar pengawas kita seperti orang tua yang kelelahan berjaga malam.
Pencurian ikan menjadi luka abadi di perairan kita. Setiap tahun, menurut laporan Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUU), lebih dari Rp100 triliun potensi perikanan Indonesia lenyap dijarah kapal asing dari Vietnam, Tiongkok, Thailand, dan Filipina. Mereka masuk tanpa izin, dengan jaring pukat harimau, merusak terumbu karang dan mengambil ikan tanpa batas.Â
Kita sering membayangkan penjajahan sebagai tentara dan meriam. Tapi sekarang, penjajahan datang lewat kapal penangkap ikan berbendera asing dan sistem radar yang kita biarkan mati.
Tidak hanya asing yang menjarah.Â
Kita pun, rakyat Indonesia sendiri, menjadi perampok laut kita. Praktik korupsi di sektor kelautan begitu jamak. Dari kasus suap ekspor benih lobster senilai Rp100 miliar yang menjerat seorang Menteri KKP pada 2020, hingga mark-up pengadaan alat tangkap atau penguasaan wilayah laut untuk kepentingan tambang dan reklamasi.Â
Laut menjadi korban dari kolusi birokrasi dan kapital. Nelayan kecil terpinggirkan, sementara para pemilik modal menguasai armada dan izin. Ini menjadi bukti bahwa laut kita bukan lagi sumber kehidupan, tapi komoditas kekuasaan.
Tak heran jika jumlah nelayan terus menyusut. Dari 2,7 juta nelayan pada 2015, menjadi hanya sekitar 2,3 juta di 2023. Sementara anak-anak muda, yang bahkan tumbuh dan besar di pesisir pun, lebih memilih menjadi kurir ojek daring daripada melaut. Karena tidak ada jaminan hidup di laut. Solar mahal. Es tak tersedia. Dermaga rusak. Di negeri maritim ini, menjadi nelayan adalah pilihan terakhir.
Kita telah kehilangan orientasi maritim. Bangsa yang kehilangan lautnya. Bahkan pelabuhan kita lebih sibuk mengurus komoditas tambang daripada hasil laut. Kota-kota besar dibangun membelakangi laut. Tak seperti San Francisco atau Amsterdam yang pelabuhannya menjadi pusat peradaban, kita justru mengurung laut di balik pagar industri, membuang limbah ke sana, menganggapnya halaman belakang.
Kita tidak membangun pelabuhan sebagai pusat peradaban, tetapi sebagai tempat logistik murahan. Kita buang limbah ke laut, reklamasi tanpa etika, membiarkan pantai berubah jadi beton.
Padahal, kata penyair Khalil Gibran, "Laut adalah segala-galanya. Ia adalah napas bumi." Tapi kita hidup tanpa menghirupnya. Kita seperti menutup paru-paru sendiri.
Dan Plato, dalam keheningan filsafatnya, menulis bahwa "kejahatan tumbuh dari kebodohan." Maka mungkin kebodohan kita adalah tak melihat laut sebagai masa depan. Kita membiarkan kapal-kapal asing mencuri karena kita tak tahu cara menjaga. Kita membiarkan anak-anak kehilangan mimpi sebagai pelaut karena kita tak tahu cara memberi harapan.