Muharam 1447 H: Tahun Baru yang Terluka
Oleh Dikdik Sadikin
"Sesungguhnya masa itu berputar, kembali seperti keadaannya semula pada hari Allah menciptakan langit dan bumi."
- Hadis riwayat Bukhari dan Muslim
TAHUN BARU HIJRIYAH bukan sekadar kalender. Ia adalah peristiwa pelarian. Sebuah hijrah: dari gelap ke terang, dari dikejar ke membebaskan, dari Mekkah yang sesak menuju Madinah yang memberi ruang. Tapi apakah ruang itu masih ada hari ini?
Hari ini, dunia seperti berjalan mundur.Â
Di Gaza, di Rafah, di Khan Younis, 1 Muharram datang bukan dengan dzikir, tapi dengan gemuruh drone dan runtuhan beton. Tahun baru ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, dilahirkan dalam bunyi bom. Bayi-bayi Palestina tidak mengenal hijrah. Mereka lahir dalam pengungsian, tumbuh dalam tenda, lalu wafat dalam daftar statistik yang sunyi.
Lebih dari 38 ribu jiwa telah melayang sejak Oktober 2023 di Gaza, mayoritas adalah perempuan dan anak-anak.Â
Dunia menunduk. Bukan karena hormat. Melainkan karena takut. Ketakutan pada Israel, atau lebih buruk, ketakutan pada rasa bersalah sendiri.
"Perang adalah kekalahan akal sehat," kata Bertrand Russell, seorang filsuf dari Britania Raya. Namun perang yang kita saksikan hari ini bukan karena kurangnya akal sehat, tapi karena kelebihan ambisi dan kehausan akan kuasa. Di Timur Tengah, kematian seperti sudah dibakukan, dan kita hanya bisa menyaksikan, dalam pixel tinggi dan notifikasi, berita yang berseliweran.
Tahun baru Hijriyah juga mengajak kita menoleh pada rumah kita sendiri: Indonesia. Negeri yang pada 1 Muharram ini tengah berdiri di persimpangan: antara reformasi dan restorasi, antara harapan dan repetisi masa lalu.
Ketika Nabi Muhammad berhijrah, ia tidak hanya pindah tempat, tetapi mengubah sistem. Tapi hari ini, kita lebih sering memindahkan kursi kekuasaan ketimbang memindahkan nilai-nilai.
Korupsi, misalnya, bukan sekadar tindakan jahat. Ia adalah tindakan berulang dalam naskah yang tidak pernah benar-benar berubah.
Menurut ICW, selama 2024, tercatat 611 kasus korupsi dengan nilai kerugian negara mencapai Rp61 triliun. Seakan-akan setiap tahun kita menandai kalender dengan penjara yang terlalu penuh dan anggaran yang terlalu bocor. Ada korupsi bansos, korupsi alat kesehatan, bahkan korupsi dalam program penanggulangan kemiskinan. Sebuah ironi di negeri mayoritas Muslim yang diajarkan, "Laknat Allah atas penyuap dan penerima suap" (HR. Ahmad).
Di tahun 1447 Hijriyah ini, kita juga menghadapi angka yang membisu tapi tajam:
- Indeks Persepsi Korupsi (2024): 34/100, stagnan.
- Gini Rasio: 0,397, mencerminkan ketimpangan yang nyaris tetap.
- Kemiskinan ekstrem masih menyentuh 5,6 juta jiwa.
Tahun baru Hijriyah seharusnya menjadi pengingat bahwa perubahan bukan dimulai dari kekuasaan, melainkan dari keberanian untuk meninggalkan yang lama: meninggalkan kemapanan yang korup, meninggalkan sistem yang menindas, meninggalkan diri sendiri yang terlalu nyaman dalam kepalsuan.
"Barang siapa yang harinya sekarang lebih buruk dari kemarin, ia celaka." (HR. Al-Baihaqi)
Tapi apakah kita lebih baik dari kemarin?
Sebagian menyebut kita sudah digital, smart, bahkan golden Indonesia. Tapi apa gunanya 5G jika moral kita masih 1G: generasi ghibah, generasi gratifikasi, generasi gemar gonta-ganti prinsip?
Kita tidak butuh tahun baru jika sekadar berganti angka. Yang kita butuh adalah makna baru. Sebab kalender hanyalah kertas tanpa kesadaran. Dan hijrah hanyalah langkah, jika tidak disertai tujuan.
Albert Camus menulis, "There is no sun without shadow, and it is essential to know the night." Tapi bangsa yang menolak bercermin dalam malam, hanya akan buta saat fajar datang.
1 Muharram 1447 adalah fajar yang pelan-pelan merayap. Ia tidak membakar, hanya menyentuh kulit. Tapi di balik sinarnya, ada tanya: akan ke mana kita berjalan? Ke Madinah yang menjanjikan kebebasan, atau kembali ke Mekkah yang gelap dan tertutup?
Jawabannya tidak ada di kalender. Tapi di hati yang berani mengatakan: cukup.
Bogor, 1 Muharam 1447 H
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI