Kerugian Keuangan Negara Tak Selalu Harus Langsung
(Catatan atas Kasus Garuda)
Oleh: Dikdik Sadikin
Dalam setiap perkara tindak pidana korupsi, syarat yang tak bisa dinegosiasikan adalah adanya kerugian keuangan negara.Â
Namun tafsir atas bentuk dan cakupan kkerugian keuangan negara  itu terus menjadi medan perdebatan, antara pendekatan sempit yang menuntut bukti hubungan kausal langsung dengan pelaku, dan pendekatan hukum keuangan negara yang lebih luas serta progresif.
Tulisan "Bagaimana Kerugian Keuangan Negara Teruji di Pengadilan?"Â oleh Ruslan Effend, Jumat 13 Juni 2025, di Kompasiana, Â menyajikan satu sudut pandang yang patut dihargai. Namun demikian, pandangan itu perlu diluruskan agar tidak menyesatkan opini publik dan mempersempit makna kerugian negara secara hukum.
1. Kerugian Negara: Lebih dari Sekadar Akibat Langsung
Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan bahwa:
"Kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai."
Definisi ini tidak mensyaratkan hubungan langsung antara kerugian dan pelaku.Â
Yang diperlukan adalah adanya akibat dari perbuatan melawan hukum, yang menyebabkan negara mengalami kehilangan atau kekurangan aset yang seharusnya dimiliki atau diterima.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 2874 K/Pid.Sus/2017 mempertegas hal ini:
"Yang dimaksud kerugian keuangan negara tidak harus langsung, tetapi cukup dapat dihitung secara pasti dan dapat ditelusuri sebagai akibat dari kebijakan, keputusan, atau tindakan yang melawan hukum."