Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kucing dalam Kardus

1 Mei 2025   09:01 Diperbarui: 1 Mei 2025   09:10 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustrasi: DALL-E)

Kucing dalam Kardus

Oleh Dikdik Sadikin

RABU SIANG itu, di pengujung April 2025, aku punya janji makan siang dengan beberapa teman lama di Juanda, Jakarta. Karena tempat pertemuannya di Rumah Makan Soto Sadi, di samping Stasiun Juanda, maka aku pilih naik KRL saja ketimbang bawa mobil. Berangkat dari Stasiun Bojong Gede tiba di Stasiun Juanda. Praktis. Hemat bensin. Tidak capek.

Tak ada yang istimewa di perjalanan pergi. Tapi pulangnya, ada sejumput cerita.

Usai makan siang bersama, sempat diantar untuk Shalat Dzuhur bersama di Masjid Cut Mutia. Ketika harus kembali dengan KRL dari stasiun terdekat yaitu Stasiun Gondangdia, baterai HP-ku habis. Mana power bank tidak kubawa. Masalahnya, dari stasiun ke rumah, aku biasa pakai ojek online. Tapi tanpa HP, semuanya lumpuh. Pilihan tersisa: ojek pangkalan. Aku tahu tarifnya lebih mahal. Tapi tak apa. Anggap saja sedekah kecil untuk mereka yang mungkin tidak punya SIM atau akses aplikasi, sehingga tidak bisa pindah ke online.

Sampai di stasiun Bojong Gede, di pintu keluar stasiun, seorang bapak tukang ojek menghampiri.  "Dua puluh lima ribu, ya?"
Aku tawar, "Dua puluh ribu. Ojek Online cuma tiga belas ribu." Dia setuju.

Kami pun jalan. Lewat jalan kampung ya, kata Bapak Ojek. Aku mengangguk. Barangkali menghindari polisi di jalan raya, atau hanya lebih sepi.

Tapi sesuatu terasa janggal.

Di depan, di bawah setangnya, ada kardus besar. Ditekan-tekan pakai kakinya. Kadang dia menggeser, seolah ada yang bergerak di dalam. Lalu, ia berhenti di depan sebuah toko. Turun. Membetulkan posisi kardus itu.

Aku menoleh. Ada lubang di sisi kardus. Dan dari lubang itu, muncul... kepala seekor kucing!

Aku tercengang. Si bapak ojek membawa kucing. Di motor. Dalam kardus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun