Ketika saya pulang ke rumah masa kecil dan mencicipi Laksa itu kembali, saya sadar bahwa yang saya rindukan bukan hanya rasa. Tapi suasana. Uap kuah yang hangat seperti tangan ibu yang membelai dahi. Wewangian kemangi yang seperti surah-surah pendek dibaca lirih. Di sanalah mitos bekerja. Ia mengikat yang tampak dengan yang tak kasat mata. Kita makan bukan sekadar untuk kenyang dan hidup. Tapi agar tak kehilangan asal-usul.
Â
Kini, ketika banyak rumah tak lagi punya pawon, dan anak-anak tak tahu siapa yang memasak makanan mereka, mitos tentang Laksa bisa terasa seperti dongeng. Tapi bukankah dongeng memang dibuat untuk menjaga manusia dari kehilangan arah?
Maka, jangan remehkan mangkuk laksa di hari Lebaran. Sebab di dalamnya, ada doa, mitos, dan cinta yang disisipkan diam-diam. Bukan karena kita percaya takhayul, tapi karena kita percaya pada kekuatan makna.
Dan barangkali, makna itulah yang kian langka hari ini. Di tengah zaman yang menakar segalanya dari kecepatan dan efisiensi, bukan dari ketulusan. Di tengah zaman yang lebih menghafal harga makanan daripada kisah di baliknya.
Maka biarkanlah Laksa tetap direbus pelan-pelan. Biarkan mitos tetap disisipkan lirih di antara kunyit dan daun salam.
Karena selama masih ada yang percaya bahwa makanan bisa menjadi jembatan antara manusia, alam, dan leluhur, kita belum sepenuhnya kehilangan rumah.
Bogor, 8 April 2025
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI