Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Laksa: Tafsir Makanan, Mitos, dan Makna dari Cianjur

8 April 2025   00:36 Diperbarui: 8 April 2025   14:40 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memakan laksa. (Ilustrasi: DALL-E)

Laksa: Tafsir Makanan, Mitos, dan Makna dari Cianjur

Oleh Dikdik Sadikin

Di Cianjur, Laksa bukan sekadar santan dan bihun. Ia adalah doa yang disuapkan secara perlahan. Mitos yang diwariskan diam-diam, dan mengikat antara manusia dan leluhur. Di balik santan, tersembunyi kearifan yang kini kian dilupakan. 

MAKANAN adalah ingatan kolektif. Di Indonesia, ia dibumbui mitos, doa, dan larangan yang turun dari langit budaya. Di hari-hari besar seperti Lebaran, makanan tak hanya disantap, juga dimaknai. Di Cianjur, semangkuk Laksa pun bisa menjelma jadi jembatan antara manusia dan semesta.

"Makanan bukan hanya soal rasa. Ia adalah tafsir sejarah, agama, dan kebudayaan yang dimasak bersama waktu."  
- Anthony Bourdain (koki selebriti, pengarang, dan tokoh televisi Amerika Serikat)

Ada yang pernah berkata bahwa di meja makan, tak hanya tubuh yang diberi makan, tapi juga jiwa yang dibentuk. Di Indonesia, negeri dari ribuan pulau dan ratusan juta lidah, makanan bukan hanya perkara perut yang lapar. Tapi warisan yang diturunkan dengan takzim, disertai larangan, keyakinan, dan kadang, rasa takut.

Di kampung-kampung, mitos masih hidup dalam bentuk paling sehari-hari: dalam piring. Di Ciamis, ikan asin yang tersisa di pinggir piring konon bisa membuat rezeki seret. Di Jepara, pindang srani dipercaya menolak bala. Di Banten, bontot atau pempek khas lokal tak boleh dibuang sembarangan, karena bisa mengundang roh penasaran.

Dan Lebaran pun menjadi panggung ketika semua simbol itu dihadirkan. Ketupat, opor, kolak pisang. Bukan hanya menu, tapi liturgi. Ketupat bukan hanya anyaman janur, melainkan doa yang dikunyah. Laku papat, ajaran Sunan Kalijaga: lebaran, luberan, lebaran, dan laburan: empat laku untuk mensucikan diri.

Namun, modernitas pelan-pelan menjauhkan kita dari tafsir itu. Menurut survei Litbang Kompas 2023, 34% responden di perkotaan tidak lagi memasak sendiri makanan Lebaran. Ketupat digantikan pizza, rendang oleh ayam Korea, dan opor berganti pasta. Di balik kenyamanan itu, ada jarak yang renggang antara lidah dan makna, antara dapur dan ingatan.

Tapi di beberapa tempat, tafsir itu belum pupus. Ia masih mengepul dari pawon desa, dari panci-panci tua yang menanak makna. Di Cianjur, ada satu makanan yang diam-diam memikul warisan itu: Laksa Cianjur.

Laksa di sini bukan laksa Malaysia atau Bogor yang ramai topping. Ia sederhana, nyaris puritan: bihun, kuah santan beraroma daun salam dan kemangi, dilengkapi telur rebus dan taburan bawang goreng. Tapi jangan tertipu kesederhanaannya: karena di balik kuah itu, tersembunyi mitos.

Konon, Laksa hanya boleh dibuat saat momen keagamaan seperti Maulid Nabi, syukuran kelahiran, atau hajatan besar. Harus oleh tangan perempuan yang sabar, di pagi hari sebelum matahari tinggi. Bila dilanggar, diyakini bisa mengundang gangguan: tanaman layu, ayam mendadak sakit, hingga keretakan keluarga yang tak jelas sebabnya.

Tentu saja ini terdengar aneh bagi generasi yang lebih mengenal shirataki daripada bihun. Tapi mitos bukan soal logika. Ia adalah cara masyarakat menjaga harmoni lewat simbol. Menurut penelitian antropologi UNPAD tahun 2017, lebih dari 60% masyarakat pedesaan Priangan masih memegang mitos makanan sebagai alat kontrol sosial dan spiritual.

Laksa Cianjur (Foto: instagram.com/ipink_nicole)
Laksa Cianjur (Foto: instagram.com/ipink_nicole)


Laksa menjadi perantara antara manusia dan alam. Santan sebagai lambang kesuburan, kemangi sebagai penolak bala, dan bawang goreng, percaya atau tidak, melambangkan kerendahan hati. Karena bawang hanya harum ketika digoreng perlahan, tidak dengan api besar.

Ketika saya pulang ke rumah masa kecil dan mencicipi Laksa itu kembali, saya sadar bahwa yang saya rindukan bukan hanya rasa. Tapi suasana. Uap kuah yang hangat seperti tangan ibu yang membelai dahi. Wewangian kemangi yang seperti surah-surah pendek dibaca lirih. Di sanalah mitos bekerja. Ia mengikat yang tampak dengan yang tak kasat mata. Kita makan bukan sekadar untuk kenyang dan hidup. Tapi agar tak kehilangan asal-usul.

 
Kini, ketika banyak rumah tak lagi punya pawon, dan anak-anak tak tahu siapa yang memasak makanan mereka, mitos tentang Laksa bisa terasa seperti dongeng. Tapi bukankah dongeng memang dibuat untuk menjaga manusia dari kehilangan arah?

Maka, jangan remehkan mangkuk laksa di hari Lebaran. Sebab di dalamnya, ada doa, mitos, dan cinta yang disisipkan diam-diam. Bukan karena kita percaya takhayul, tapi karena kita percaya pada kekuatan makna.

Dan barangkali, makna itulah yang kian langka hari ini. Di tengah zaman yang menakar segalanya dari kecepatan dan efisiensi, bukan dari ketulusan. Di tengah zaman yang lebih menghafal harga makanan daripada kisah di baliknya.

Maka biarkanlah Laksa tetap direbus pelan-pelan. Biarkan mitos tetap disisipkan lirih di antara kunyit dan daun salam.

Karena selama masih ada yang percaya bahwa makanan bisa menjadi jembatan antara manusia, alam, dan leluhur, kita belum sepenuhnya kehilangan rumah.

Bogor, 8 April 2025

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun