Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Buruh Musiman: Yang Tertinggal Usai Ramadan

4 April 2025   22:12 Diperbarui: 5 April 2025   08:09 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pekerja musiman di Bulan Ramadan. (Ilustrasi: DALL-E)

Buruh Musiman: Yang Tertinggal Usai Ramadan

Oleh Dikdik Sadikin

Kita menulis 'pertumbuhan ekonomi', tapi melupakan bahwa 59,31 persen tenaga kerja Indonesia masih bekerja di sektor informal. Termasuk buruh musiman di Bulan Ramadan, yang tanpa asuransi, dan tanpa kepastian akan dipekerjakan lagi setelah Ramadan. Apalagi THR.

Di sebuah sudut Terminal Laladon, Kabupaten Bogor, saya melihat seorang perempuan paruh baya berdiri di bawah payung yang tak terlalu besar. Ia menjajakan kolak pisang, tahu isi, dan gorengan yang masih mengepul uap panasnya. Namanya Bu Ijah. "Alhamdulillah, Ramadan bawa rejeki. Tapi ya cuma sebulan, Pak," katanya sambil menyeka keringat dengan ujung kerudungnya.

Dalam gemerlap iklan e-commerce yang menjanjikan diskon 90 persen dan tayangan televisi yang memamerkan bagi-bagi THR untuk ASN, ada dunia lain yang senyap dan tak tersorot kamera: dunia para buruh musiman, para pedagang takjil, para kurir dan juru parkir harian. Mereka ada, bekerja, menopang, tapi seringkali tak terlihat dalam sistem.

Di bulan Ramadan, konsumsi rumah tangga naik hingga 20 persen. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pengeluaran masyarakat untuk makanan jadi dan makanan ringan melonjak paling tajam pada minggu kedua Ramadan. Namun, kontribusi besar ekonomi informal di balik lonjakan ini, nyaris tak tercatat.

Kurir seperti Dedi, 26 tahun, hanya tersenyum miris saat saya tanya soal THR. "THR dari siapa, Bang? Kita kan freelance. Kalau dapet, ya bonus dari kasihan doang, bukan kewajiban." Dalam satu hari, Dedi bisa mengantar 50 hingga 70 paket di wilayah Cibinong. Gojek dan ShopeeFood memberinya penghasilan harian, tapi tidak jaminan masa depan.

Di Cileungsi, buruh pabrik musiman seperti Asman hanya dipekerjakan sebulan untuk memenuhi lonjakan produksi parcel Lebaran.

"Kalau bukan musim parsel, saya nganggur. Baru pas Ramadan dipanggil lagi," katanya. Upah minimum yang diterima tak sampai Rp3 juta sebulan, tanpa asuransi, dan tanpa kepastian akan dipekerjakan lagi setelah Ramadan.

"Negara hanya hadir lewat pengumuman THR untuk yang punya NIP," celetuk Pak Syukur, seorang juru parkir di Pasar Ciawi yang kami temui tengah mengatur kendaraan roda dua. "Yang begini mah, THR-nya ya kalau ada yang ngasih lebih aja. Kadang juga dimaki. Salah parkir dikit, disalahin."

Kita menyukai bayang-bayang ideal. Kita menulis 'pertumbuhan ekonomi', tapi melupakan bahwa 59,31 persen tenaga kerja Indonesia masih bekerja di sektor informal. Kita menepuk dada karena inflasi terkendali, padahal harga telur naik 15 persen, daging sapi menembus Rp140 ribu per kilo, dan minyak goreng tak kunjung stabil.

Jean-Paul Sartre dalam drama "No Exit" (Huis Clos, 1944) pernah menulis: L'enfer, c'est les autres. Neraka adalah orang lain. Tapi bagi Bu Ijah, Dedi, dan Asman, neraka itu adalah kehidupan yang diabaikan: ada, tapi seolah-olah tak pernah terhitung. 

Mereka hadir dalam kehidupan kita setiap hari: mengantar paket yang kita pesan tengah malam, menjaga motor kita saat belanja, atau menyediakan buka puasa yang kita santap di pinggir jalan. Tapi mereka jarang masuk berita. Dan kalaupun masuk, mereka sekadar menjadi angka: "10 juta pekerja informal terdampak."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun