Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Banjir Datang, Bogor dan Jakarta Saling Tuding

4 Maret 2025   10:35 Diperbarui: 4 Maret 2025   17:17 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga mencoba melintasi banjir di Kebon Pala Jakarta Timur, Selasa, 4/4/2025. (Sumber: KOMPAS.com/Febryan Kevin)

Bahkan, program normalisasi sungai yang sempat digadang-gadang sebagai solusi utama gagal terlaksana secara konsisten. Beberapa bagian sungai memang diperlebar, tetapi pemukiman liar terus bermunculan di bantaran sungai, menghambat aliran air, dan menambah tekanan pada sistem drainase kota.

Jakarta seolah hidup dalam dua realitas yang bertentangan:

  • Saat kemarau, air sulit didapat dan Jakarta rawan kekeringan.
  • Saat musim hujan, air berlimpah tetapi tak ada yang bisa mengelolanya.

Kita berbicara tentang banjir sebagai bencana tahunan, tetapi tak pernah berbicara tentang bagaimana kita sendiri yang menciptakan kondisi ini.

Saatnya Berhenti Menyalahkan, Saatnya Bertindak

Jakarta dan Bogor adalah dua kota yang terhubung oleh nasib sungai yang sama. Namun, selama solusi yang ditawarkan hanya bersifat lokal dan jangka pendek, banjir akan terus menjadi bagian dari identitas ibu kota.

Kita bisa terus menyalahkan Bogor, atau mulai menuntut perubahan nyata di Jakarta:

  • Rehabilitasi drainase perkotaan dengan pendekatan yang modern dan berbasis teknologi.
  • Meningkatkan ruang terbuka hijau untuk menyerap air hujan secara alami.
  • Pengelolaan sampah yang lebih ketat, agar sungai tidak lagi menjadi tempat pembuangan limbah.
  • Pembangunan infrastruktur pengendali banjir yang lebih strategis, bukan sekadar proyek mercusuar yang tidak menyentuh akar masalah.

Jakarta bukan hanya kota yang rawan banjir, tetapi kota yang terbiasa menoleransi alasan. Dan yang lebih mengerikan dari banjir adalah ketidakpedulian yang tumbuh subur di sela-sela kepanikan. Seperti kebiasaan buruk yang diwariskan, kita selalu menunggu air surut, mengeluh, lalu melanjutkan hidup tanpa benar-benar melakukan sesuatu. Sampai tahun depan, ketika hujan kembali turun, dan kita kembali tenggelam dalam cerita yang sama.

Kini pertanyaannya bukan lagi kapan hujan akan berhenti, atau siapa yang salah, Bogor atau Jakarta, melainkan kapan kita akan benar-benar berubah?

Jakarta, 4 Maret 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun