Jakarta adalah kota dengan sistem drainase yang usianya lebih tua daripada sebagian besar penghuninya. Banyak saluran air masih mengikuti pola yang dibuat sejak era kolonial, sementara perkembangan kota melaju tanpa perencanaan yang berpihak pada daya dukung lingkungan. Tak heran, ketika hujan turun deras, air yang seharusnya bisa disalurkan ke laut justru mengendap di jalan-jalan, memantul di trotoar, atau tersumbat di gorong-gorong yang penuh sampah.
Ditambah lagi, laju urbanisasi yang tak terkendali telah memangkas lebih dari 60% ruang terbuka hijau Jakarta dalam tiga dekade terakhir. Tanah yang seharusnya bisa menyerap air kini berubah menjadi aspal, beton, dan gedung pencakar langit. Bahkan, proyek-proyek reklamasi di utara Jakarta telah membuat air dari daratan semakin sulit mengalir ke laut.
Masalah utama Jakarta bukan hanya air kiriman dari Bogor, tetapi juga ketidakmampuannya sendiri dalam mengelola air yang jatuh dari langit.
Dua Wajah Sungai Jakarta: Aliran atau Tempat Sampah?
"We never know the worth of water till the well is dry." Â - Â Thomas Fuller
Banjir ini tak hanya soal cuaca. Sungai yang meluap adalah akibat dari tangan manusia sendiri. Sungai tak pernah ingkar janji. Manusia lah yang mengkhianati alam dengan beton yang menyesaki resapan air, dengan sampah yang mencekik aliran sungai, dan dengan rencana tata kota yang lebih mementingkan kepentingan bisnis daripada keberlanjutan.
Jakarta tidak hanya tenggelam dalam air, tetapi juga dalam kepentingan politik dan ekonomi yang menutupi akarnya. Sungai yang meluap bukan sekadar karena curah hujan tinggi, tetapi karena tangan manusia yang mengabaikan keseimbangan alam.
Hutan beton terus tumbuh, sementara ruang hijau semakin terkikis. Sungai-sungai dipaksa mengalir melalui kanal sempit yang tak lagi mampu menampung volume air yang terus meningkat. Limbah rumah tangga dan industri mengalir tanpa kendali, menghambat aliran sungai yang seharusnya menjadi jalur alami air menuju laut.
Pembangunan gedung-gedung pencakar langit terus berlanjut, tetapi di saat yang sama, sistem drainase kota tetap tertinggal di abad yang lalu. Sungai yang seharusnya menjadi jalan air justru berubah menjadi tempat pembuangan limbah. Ketika hujan turun dengan intensitas tinggi, tidak ada lagi jalur yang bisa mengalirkan air keluar dari kota dengan cepat.
Ciliwung, sungai yang menjadi pusat perhatian setiap kali banjir terjadi, tidak hanya membawa air dari hulu di Bogor, tetapi juga membawa beban sampah yang berasal dari Jakarta sendiri.
Setiap hari, diperkirakan 7.000 ton sampah mengalir ke sungai-sungai di Jakarta, menyumbat aliran air dan memperparah banjir saat hujan deras. Pemerintah bisa saja menyalahkan Bogor atas luapan air dari Katulampa, tetapi siapa yang bertanggung jawab atas gunungan sampah plastik, limbah rumah tangga, dan sedimentasi yang mempersempit sungai di Jakarta?