Mohon tunggu...
Andika Lawasi
Andika Lawasi Mohon Tunggu... Lainnya - an opinion leader

Rakyat Pekerja

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Kita Tersandera Sektarianisme dan Politisasi Dogma

2 Agustus 2018   14:12 Diperbarui: 2 Agustus 2018   18:57 928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suhu politik tanah air jelang pemilu 2019 mulai terasa bergolak sejak akhir tahun 2017 sampai pertengahan tahun 2018 ini. Beragam agitasi disertai narasi bernuansa politis berkembang dengan sangat cepat seiring dengan semakin dekatnya waktu pemilu.

Keriuhan tema-tema politik baik dalam dialog akademis maupun sekedar perdebatan kusir di media sosial menjadi tanda bahwa suhu politik tanah air sedang menghangat, berbarengan dengan menguatnya agregasi kekuatan-kekuatan politik oposisi yang kebanyakan di dominasi pemain-pemain lama yang nampaknya sudah bersiap menghadapi petahana di pemilu 2019 mendatang.

Namun, ditengah dinamika menuju kontestasi politik 5 tahunan ini, muncul sebuah fenomena klasik namun relatif baru dalam wajah perpolitikan era millennial dewasa ini. Peristiwa ini saya namai dengan istilah “ politisasi dogma “, yaitu sebuah gerakan memobilisasi sikap religiusitas massa rakyat dengan menunggangi isu sektarian dan rasial untuk agenda-agenda pemenangan pemilu.

Meskipun isu sektarian dan rasial adalah sah dalam konteks memilih pemimpin, namun ini bukanlah sebuah fenomena yang sehat dalam demokrasi.  Demokrasi yang seharusnya berkembang dalam narasi yang rasional dan egaliter, dewasa ini banyak tercederai oleh sentimen-sentimen primordialisme yang justru kontraproduktif dengan konsensus kita berdemokrasi. 

Politisasi dogma yang sarat sentimen sektarian dan rasial ini bisa kita simak dalam kasus Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dan Pilgub Jabar tahun 2018. Sebagaimana dalam kasus Pilkada DKI Jakarta, pemilihan gubernur Jawa Barat pun memiliki modus operandi yang relatif kongruen dengan gaya politik oposisi di DKI Jakarta.

Sebagai contoh, di pilgub Jabar baru-baru ini, dalam beberapa hasil survey menunjukkan bahwa elektabilitas pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu (Asyik) yang diusung koalisi PKS, Gerindra dan PAN selalu berada di bawah angka 11-12%, menduduki rangking 3 setelah pasangan Ridwan Kamil-UU Ruzhanul Ulum serta Dedi Miswar dan Dedi Mulyadi. Artinya, tingkat keterpilihan pasangan ahmad-syaikhu tidaklah opitmis. 

Namun secara mengejutkan, dalam pemilihan yang sesungguhnya, pasangan ini nyaris menang dengan perbedaan 4-5 digit dengan pasangan RINDU. Orang-orang pun kemudian bertanya mengapa hal itu bisa terjadi? Sementara survey yang dilakukan dengan metode statistik rigid sekalipun sudah memprediksi bahwa pasangan tersebut tidak akan menang.

Kaum agnostik-reaksioner di akar rumput pun kemudian banyak bertutur bahwa ini adalah keajaiban dari Tuhan; bahwa Tuhan sudah menunjukkan mukjizatNya dengan terang. Saya kemudian sangsi, dengan banyaknya fitnah yang ditebar, berita hoax, caci-maki di media sosial, intimidasi dan saling bully, serta ditambah dengan upaya mengkomodifikasi komentar-komentar religious para dai kondang lokal yang mewarnai operasionalisasi kampanyenya, lantas kita bertanya apakah benar Tuhan telah ikut campur dalam demokrasi kita? Benarkah kekuatan ilahiah menyelimuti mereka sehingga bisa mementahkan hasil survey?

Sudah barang tentu peristiwa itu bukanlah kerja-kerja Tangan Tuhan (God’s Hand). Sebab Tuhan adalah entitas paling suci yang keadilanNya meliputi semua manusia, bukanlah Dzat yang dengan mudah diajak berkoalisi oleh mereka yang gemar mempolitisasi dogma, mempreteli ayat-ayat suci, dan mendompleng marwah para ulama demi kepentingan politik dan jabatan prestise di pemerintahan.

Namun kelompok agnostik-reaksioner ini sepertinya sangat lihai membilas intrik politik mereka dengan wacana-wacana ketuhanan sehingga di permukaan nampak sangat religius, tetapi faktanya jauh dari etika dan moral beragama yang seharusnya diletakkan ditempat yang suci serta bebas dari intrik apapun.

Dengan melihat keberhasilan politisasi dogma di Pilkada DKI Jakarta dan kemenangan yang nyaris di raih di Pilkada Jabar telah memberikan semacam suntikan semangat bagi para politisi oportunis dan kaum agnostik-reaksioner bahwa selera kepemimpinan massa rakyat ternyata mudah dibentuk dan dikendalikan dengan narasi sektarianisme ini, dan dengan demikian, mereka bersemangat untuk mengembangkan serta memodifikasi strategi sektarianisme ke dalam konteks pilpres 2019 mendatang. Jika ini terjadi, maka ini sebuah langkah mundur dalam demokrasi kita dan merupakan preseden yang amat buruk bagi tumbuh kembang demokrasi di masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun