Mohon tunggu...
Dien Alski
Dien Alski Mohon Tunggu... Sales - Semarang, Rembang, Purbalingga, Banyumas, Kebumen

Melihat, mendengar, membaca, mengamati, kemudian mencoba untuk menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konsolidasi Vs Perlawanan Kudeta di Negeri Seribu Pagoda (3)

14 Februari 2021   11:36 Diperbarui: 14 Februari 2021   11:45 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

DI MYANMAR, penyadapan telepon itu hal biasa. Itu diceritakan Phyo (bukan nama sebenarnya). Laki-laki berumur 25 tahun itu lahir dan besar di Yangon. Dia berasal dari keluarga relatif kaya sehingga terlindungi dari hiruk-pikuk kekerasan politik di Myanmar.

Namun Phyo mengingat beberapa peristiwa menonjol saat dia masih kanak-kanak. "Ketika berbicara melalui telepon, Anda bisa mendengar suara lain. Misalnya televisi atau suara orang yang sedang bercakap-cakap. Mereka adalah aparat militer yang mengawasi Anda," ujarnya.

"Tidak terlalu menakutkan sebenarnya bagi kami yang lahir dalam situasi semacam ini," bebernya.

Tetapi ketika militer melancarkan kudeta 1 Februari, orangtuanya melarang dia menggunakan telepon. Phyo lahir tahun 1995. Atau tiga tahun setelah diktator militer Than Shwe berkuasa. Phyo menyebut tahun kelahirannya sebagai "puncak kekuasaan militer setelah revolusi tahun 1988".

Di sekolah, kata Phyo, kurikulum diatur sedemikian rupa. "Guru dilarang mengajarkan topik-topik sensitif. Di negara lain, pendidikan mungkin membuat Anda menjadi memiliki sikap kritis. Tetapi di sini kami disuruh membaca dongeng-dongeng agama," ucapnya.

"Atau Anda akan belajar bahwa raja-raja Myanmar benar-benar hebat sampai semua jengkal tanah mereka diambil Inggris."

Meski demikian, Phyo mengaku terhindar dari pergolakan politik di negaranya sampai usia 12 tahun. Sebelum Revolusi Saffron yang dimotori para biksu meletup pada tahun 2007.

Myanmar telah lama dianggap sebagai negara paria di bawah kekuasaan junta militer dari tahun 1962 hingga 2011. Demokratisasi mulai dihembuskan pada 2010, salah satunya berkat perjuangan Aung San Suu Kyi.

Tetapi kekejaman militer belum sepenuhnya berhenti. Operasi militer di Negara Bagian Rakhine pada tahun 2017 telah mengakibatkan lebih dari setengah juta Muslim Rohingya mengungsi ke Bangladesh. PBB menyebut operasi militer ini sebagai 'pembersihan etnis'.

Myanmar saat ini tengah menghadapi gugatan Mahkamah Internasional atas tuduhan melakukan genosida. Di sisi lain, Mahkamah Pidana Internasional juga menggelar penyelidikan atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Para aktivis menuding Suu Kyi 'tidak berbuat' untuk menghentikan pemerkosaan, pembunuhan, dan kemungkinan genosida. Suu Kyi menolak untuk mengutuk militer yang masih kuat di negara itu. Atau setidaknya mengakui adanya laporan perihal kekejaman.

Beberapa kalangan awalnya berpendapat, Suu Kyi hanyalah seorang politikus pragmatis. Dia hanya berusaha tetap berkuasa di sebuah negara multi-etnis dengan sejarah yang kompleks.

Namun pembelaannya atas tindakan militer pada sidang Mahkamah Internasional di Den Haag, 2020 silam, dipandang sebagai sebuah titik balik. Reputasi Suu Kyi sebagai pejuang hak asasi manusia dan demokrasi, hancur di mata internasional.

Ironisnya, militer yang dia 'bela' di hadapan Mahkamah Internasional, justru mengkudeta pemerintahnya. Mata dunia kembali menyorot ke Burma. Aksi unjuk rasa menentang kudeta terus membesar. Korban berjatuhan. Polisi akhirnya membelot melawan junta. Tetapi militer dan partai oposisi juga terus berkonsolidasi.  

Sejumlah pendukung militer terlihat merayakan kudeta. Mereka  berparade di  kota sambil memainkan alat-alat musik

Diceritakan Griffin Hotchkiss, ekspatriat Amerika yang telah tinggal di Myanmar  sekitar enam tahun, dia melihat arak-arakan kendaraan warga sipil pro-militer di jalan-jalan. Mereka memainkan musik . Di sisi lain, pendukung NLD terlihat marah di jalan-jalan.

Yang membuat dia terkejut, reaksi terhadap kudeta tak terlampau ekstrim. Dalam perjalanan ke Yangon, Hotchkiss mengatakan bahwa "selain beberapa kendaraan tentara di kompleks Balai Kota, tidak ada yang tampak hal  luar biasa". Tetapi tentu saja, cerita tentang kudeta di negeri seribu pagoda masih belum selesai.  (habis/***)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun