Pak Isidorus, 84 tahun, salah satu tetua adat di Wae Rebo
Mengunjungi “kampung di atas awan” Wae Rebo, desa Satar Lenda, Kec. Satarmese Barat, Kab.Manggarai Barat Flores adalah pengalaman yang tidak terlupakan. Budaya, adat istiadat serta keindahan panorama alam ditambah dengan keramahan sekitar 112 KK atau 625 jiwa penduduk di kampung ini, membuat beberapa jam menginjakkan kaki di desa ini rasanya seperti pulang kampung. Meski letaknya relatif terisolir, dari Denge, kampung terakhir, kita harus menempuh perjalanan kaki sekitar 2 hingga 4 jam menyusuri hutan, menyeberang sungai dan melintasi bibir jurang, para generasi muda Waerebo mulai menyadari bahwa kampung mereka akan semakin bertambah ramai dikunjungi. Apalagi sejak memenangkan penghargaan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia pada bulan Agustus 2012 lalu, menyisihkan 42 negara lainnya, kampung ini bertambah banyak pengunjungnya. Sebelum ke Wae Rebo Menuju Wae Rebo, pengunjung akan bertemu “kampung kembaran” Wae Rebo yaitu Kampung Kombo, sekitar 5 kilometer dari Kampung Denge. Di Kampung Kombo ini penduduk Wae Rebo memiliki sawah dan menitipkan anak-anak mereka untuk bersekolah di kampung terdekat.

Di Dintor, sekitar 4 kilometer dari Denga, ada Wae Rebo Lodge milik Martinus Anggo, anak muda Wae Rebo yang menjadi pemandu. Pengunjung dapat memilih bermalam di sini jika kemalaman. (kontak: 0852 39344046, martin_anggo@yahoo.com).
Biaya menginap sekitar Rp 150,000/malam. Karena saya tidak menginap di rumah Pak Martinus, sebaiknya mengontak langsung beliau.

Pak Blasius Monta di depan rumah yang dijadikannya penginapan 11 kamar
Penginapan lainnya terletak di Kampung Denge, yaitu rumah Bapak Blasius Monta (kontak sebaiknya melalui sms dulu: 08123 39350775). Rumah ini memiliki 11 kamar untuk disewakan. Kamar mandi dan WC ada 4 dan di luar kamar. Harga menginap yaitu Rp 200,000 termasuk tiga kali makan dan kopi. Pak Blasius juga menjual minuman botol air putih untuk bekal trekking. Rumah Pak Blasius ini adalah rumah terakhir sebelum trekking menuju Wae Rebo.
Porter, Trekking dan Mencari Sinyal di Poco Raka

Sejak di Denge, sinyal telepon mulai langka. Jadi jangan heran ketika melihat baik anak-anak muda ataupun orang tua berjinjit dengan tangan melambai-lambai di atas memegang telepon untuk mencari sinyal. Atau gaya unik lainnya yang menempel di batu (ada satu batu dekat gereja, spot populer mencari sinyal). Sebaiknya memulai trekking pagi-pagi. Idealnya jam 7 pagi. Karena udara sejuk dan matahari belum bersinar terik atau malah ada resiko turun hujan. Kalau Anda ingin menyewa jasa porter, masyarakat Wae Rebo kini sudah menyeragamkan tarif dan mengatur jadwal kerja porter. Biayanya Rp 75,000 per hari, atau Rp 150,000 untuk pulang pergi. Beban bawaan dibatasi hingga 7 kilogram. Hal ini untuk tetap menjaga Keselamatan porter yang harus menempuh medan cukup berat serta juga barang bawaan yang dibawanya. Menurut warga, jarak trekking dari Deng ke Wae Rebo adalah 9 kilometer dan ditempuh dengan jarak berkisar antara 2-4 jam. Namun, beruntung saat itu saya dibantu oleh jam tangan Garmin. Total jaraknya adalah 6,6 kilometer mulai dari SD sebelum masuk ke hutan dan hingga pintu gerbang kampung Wae Rebo. Jarak tempuh saya waktu itu adalah 2,5 jam. (agak ngebut karena malu sama Pak Piyus, porter saya yang sangat baik dan juga lucu) Jarak paling buat ngos-ngos-an adalah antara Denge hingga ke Wae Lumba. Soalnya batu besar, tanjakan dan kadang jalan licin juga. Kita akan melewati sungai kecil. Jalur Wae Lumba ke Poco Roko juga lumayan menegangkan, karena untuk orang yang takut ketinggian seperti saya, menyusuri bibir jurang yang kelihatan sangat tinggi itu amatlah menakutkan.

Berkali-kali saya merasa seperti cicak yang menempel di tebing, atau kadang seperti suster ngesot yang hanya bisa mengesot pelan-pelan dengan punggung menempel selengket-lengketnya dengan tebing. Atau kadang seperti gerobak, karena perlu ditarik oleh Pak Piyus melewati longsoran tanah dan batu-batu yang mudah longsor.
Di Poco Roko, ini titik tertinggi setelah menyusuri dan membelah hutan. Kalau panas dan terik, di sini cukup panas. Sudah ada pagar untuk menjaga keamanan dari jurang yang tinggi, juga ada bangku kayu. Tetapi duduk nelongso di tanah cadas sambil memperhatikan aneka gaya warga yang memang menunggu tiba di spot ini untuk mencari sinyal telepon. Di Poco Roko, tebing batu ini menjadi pusat komunikasi antara warga Wae Rebo dengan dunia luar. Urusan keluarga hingga masalah bisnis dipecahkan di sini. Jika di kota, mall, kendaraan umum dan taman kota menjadi ruang-ruang publik, maka menuju Wae Rebo ini, hutan menjadi ruang publik bersama yang amat ramai. Transportasi barang dengan kaki dan bahu untuk memanggul adalah pemandangan biasa. Menitipkan pesan antar desa melalui orang yang melewati jalur ini juga menjadi hal biasa.

Ini Mama Lome, rekan seperjalanan saya ketika menuju Wae Rebo. Karung dan kantung plastik berat dititipkan ke Pak Piyus karena beliau terlalu lelah.
Ada satu kata-kata yang diucapkan oleh Petrus dan Pak Yosef yang sulit saya lupakan. “Kami tahu potensi adat dan budaya desa kami. Memikul beban 10 kg dan berjalan 2-4 jam tanpa akses jalan serta tidak ada sinyal komunikasi bukanlah bagian dari budaya kami. Kami ini juga bagian dari masyarakat Indonesia yang perlu pembangunan. Tolong jangan lupakan itu” Ini untuk menggambarkan kerinduan masyarakat Wae Rebo terhadap akses jalan yang lebih baik dari Denge hingga setidaknya Wae Lumba, atau lebih baik lagi jika mencapai Wae Rebo. Bukan jalan aspal mulus, tetapi cukup layak untuk tidak lagi perlu mengangkut beban dengan cara memikul. Biaya Administrasi Ketika saya bertemu dengan salah satu generasi ke-18 di Wae Rebo, Pak Yosef Katup yang juga aktif dalam Lembaga Pariwisata Waerebo, meminta untuk menginformasikan administrasi hasil urun rembug masyarakat kampong Wae Rebo. Menurut Pak Yosef, masih banyak tamu yang terkaget-kaget ketika datang berkunjung ke Wae Rebo tanpa adanya informasi mengenai biaya administrasi. Suasana kadang menjadi kurang nyaman karena hal ini. Kadang ada anggapan bahwa adanya biaya administrasi ini seperti membuat komersil budaya. Padahal kata Pak Yosef, hal ini sudah merupakan kesepakatan bersama masyarakat Wae Rebo, serta pengelolaan uang tersebut adalah untuk biaya bahan makanan dan memasak makanan yang dibuat oleh para ibu serta pemeliharaan infrastruktur kampung seperti bahan bakar genset dan sumber air. Secara berkala, hasil pengumpulan biaya administrasi itu akan dibuka bersama-sama oleh masyarakat dan diumumkan jumlahnya serta dibagi untuk pengelolaan kampung. Biaya menginap di rumah adat Wae Rebo adalah Rp 225,000/orang sudah termasuk tiga kali makan. Jika tidak menginap, maka tamu dapat membayar Rp 100,000. Yang tidak boleh dilupakan adalah setiap tamu yang datang ke Wae Rebo harus melalui upacara Waelu. Dimana para tetua adat akan memohonkan ijin pada para leluhur untuk menerima tamu serta memohon perlindungan hingga sang tamu meninggalkan kampung dan kembali ke tempat asalnya. Saat berkunjung, saya merupakan satu-satu-nya tamu hari itu. Sempat terharu dan merinding ketika Bapak Isidorus, 84 tahun, melafalkan doa pada upacara Waelu. Setelahnya Pak Yosef menerjemahkan. Kurang lebih artinya bahwa saya bukan lagi anak Bandung atau Jakarta, tetapi anak kandung Wae Rebo yang sedang pulang menengok kampong halaman. Untuk Waelu, tamu akan diharapkan memberikan sejumlah uang secara sukarela. Tidak ada jumlah pasti, seikhlasnya. Dan benar-benar harus ikhlas. Belanja Kopi dan Sarung Tenun

Kursus kilat dari Mama Nina tentang cara menumbuk kopi
Menghirup kopi asli yang ditanam di kebun-kebun di hutan di seputar kampong Wae Rebo, bagi pencinta kopi, akan sulit menahan keinginan untuk tidak membelinya.
Saya membeli kopi dengan harga Rp 50,000/kg. Kopi yang baru selesai dijemur dan ditumbuk. Bahkan mama Nina memberikan kursus singkat cara menumbuk kopi. (badan ikut bergerak sesuai ayunan kayu ketika menumbuk). Kalau tertarik dengan sarung tenun buatan tangan yang dikerjakan para mama di depan rumah-rumah mereka, harganya sekitar Rp 200,000 – 300,000 tergantung tingkat kesulitan pembuatan motifnya. Selama di Wae Rebo

Di rumah adat yang diperuntukkan untuk tamu. Bersama Pak Alexander Ngadus (64 tahun) kiri dan Pak Yosef Katup (42 tahun) kanan
Pak Yosef menunjukkan satu lembar kertas berisi tata cara perilaku selama kita berada di Wae Rebo. Beberapa diantaranya adalah berpakaian sopan. Ini berarti kalau bisa tidak pakai tank top dan hot pant bagi perempuan. Selain dingin, karena hal itu akan membuat risih warga. Tidak menunjukkan kemesraan antara lawan jenis (ataupun sejenis) seperti berpegangan tangan, berpelukan atau berciuman, bahkan untuk suami istri sekalipun.
Menjaga perilaku dan berbicara. Tidak mengumpat apalagi memaki. Tidak menggunakan alas kaki ketika masuk ke rumah. Sebaiknya tamu juga menahan diri untuk tidak langsung ambil gambar dan berkeliling desa sebelum melewati proses Waelu. Memang ini sulit, karena ketika menginjakkan kaki di Wae Rebo, nafsu untuk langsung memotret dan berkeliling begitu besar. Tetapi, tahanlah diri kita setidaknya selama 30 menit ke depan ketika tiba. Toh kita akan punya waktu ber-jam-jam kemudian untuk eksplorasi. Di Wae Rebo sudah ada kamar mandi yang cukup modern dengan bak mandi dan WC. Terima kasih untuk para arsitek muda kita yang membangunkan fasilitas ini ketika mereka serta masyarakat dengan bantuan Yayasan Tirto Utomo membangun tiga buah rumah adat (Mbaro Niang) di Wae Rebo. Sebagai Rekap Biaya Mengambil biaya termahal untuk menempuh Wae Rebo untuk 2 hari 1 malam, maka Anda akan dapat memprediksi biaya sekitar Rp 625,000, dengan perincian kasar sebagai berikut. Rp 200,000 (menginap di Denge) + Rp 150,000 (porter)+ Rp 225,000 (menginap di Wae Rebo) + Rp 50,000 (ilustrasi biaya sukarela Waelu) Biaya ini diluar biaya transportasi menuju ke Denge sebelum trekking dari Labuan Bajo atau Ruteng. Tentu saja ada alternatif lebih murah misalnya dengan mengurangi biaya menginap di Denge dan porter atau tidak menginap di Wae Rebo (meski rugi besar kalau melewatkan ini). Selamat menikmati waktu Anda di Wae Rebo. Percayalah, jika Anda seperti saya, Anda akan sulit untuk tidak jatuh cinta pada Kampung ini. Dan jika Anda ternyata cengeng seperti saya, akan sulit menahan air mata ketika mesti meninggalkan “Kampung Halaman” ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI