Mohon tunggu...
Diya Khoirun Nisa
Diya Khoirun Nisa Mohon Tunggu... Enthusiast in content writing | content writer @jagatsetara | content portfolio @diyanisaa.21

Topik konten favorit : segalanya yang menarik dan bermanfaat :)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Beras oplosan marak beredar, salah siapa?

16 Juli 2025   14:41 Diperbarui: 16 Juli 2025   14:53 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu merk beras oplosan. (sumber : https://www.myedisi.com/kaltengpos)

Di negeri ini ada saja kasus-kasus meresahkan yang bikin pusing. Tak Cuma pusing, tapi bikin was-was karena kasus ini bisa membahayakan kesehatan kita. Salah satunya yaitu maraknya beras oplosan yang dijual bebas di pasar. Dilansir dari situs metrotvnews.com/di hari Senin, 14 Juli 2025, bahwa ada 212 merek beras oplosan.  Di situs  tersebut, Amran Sulaiman, selaku menteri pertanian menyatakan karena kasus ini, negara rugi sekitar 100 triliun.

Contoh masalah pengoplosan beras seperti pemalsuan berat bersih beras yang tertulis di kemasan. Di kemasan tertulis 5 kg tetapi saat ditimbang berat bersihnya hanya 4,5 kg. Tidak hanya itu, di kemasan tertulis "beras kualitas premium" tetapi aslinya berasnya bukan premium. Bayangkan jika harga beras yang katanya premium 5 kg dijual 85 ribu tetapi itu aslinya beras biasa. Apa hal ini tidak merugikan dan menyesatkan konsumen?  Ya jelas merugikan dan sesat lah.

Saat konferensi pers yang dilansir dari metrotvnews.com, menteri pertanian (mentan) membeberkan beberapa merek dan produsen beras oplosan diantaranya :

  • Merek Sania, Sovia, Fortune dan Siip yang diproduksi oleh Wilmar group
  • Setra Ramos, Beras Pulen Wangi, Setra Pulen  dan Food Station yang diproduksi Food Station Tjipinang Jaya
  • Raja platinum, Raja Ultima diproduksi oleh PT. Belitang Panen Raya
  • Ayana diproduksi oleh PT. Sentosa Utama Lestari (JAPFA group)

Pasti di benak kita muncul pertanyaan siapa pelakunya saja padahal seharusnya kita bertanya mengapa praktik seperti ini terus berulang?

Banyak orang buru-buru menodongkan tangan ke pedagang. Padahal sebelum beras sampai ke tangan pedagang, sudah dioplos terlebih dulu oleh produsen. Tidak baik saling menyalahkan, kita harus menyadari bahwa sistem tata niaga beras kita belum sehat, belum transparan dan belum berpihak pada keadilan pangan. Jadi, kita harus mulai menelaahnya dari mana?

Sistem yang mendorong kenakalan

Menurut data Badan Pangan Nasional, fluktuasi harga beras antar daerah bisa mencapai 20--30%. Dalam kondisi seperti ini, motif ekonomi membuat oplosan menjadi "strategi dagang" yang dianggap biasa. Produsen maupun pedagang berbuat curang. Tingkah produsen dan pedagang yang mengoplos beras sangat melanggar UU perlindungan konsumen dan UU pangan.

Sebenarnya pelaku pengoplosan mengalami dilema. Namun, karena dikejar target untung dan , tekanan harga dan persaingan pasar yang tak sehat, jadilah bertingkah demikian. Pengawasan dan kontrol mutu yang lemah mempermudah tindakan pengoplosan menjadi "hal lumrah".

Pengawasan lemah, label tak bermakna

Lemahnya pengawasan dari pemerintah membuat pelanggaran terhadap mutu pangan kerap tak terdeteksi. Sehingga tindakan kecurangan makin kian menjadi. Label "premium" di kemasan beras seharusnya menunjukkan bahwa beras tersebut memiliki kualitas premium bukan abal-abal.

Saya pun juga bingung pemakaian label "premium" di kemasan apakah sudah melalui sertfikasi mutu produk atau belum. Karena banyak juga produsen awam yang ikut-ikutan memasang label "premium" padahal belum pernah mengikuti sertifikasi yang diselenggarakan oleh lembaga penjamin mutu produk.

Memang pengawasan dan kontrol mutu yang dilakukan oleh lembaga pengawas masih lemah. Sertifikasi mutu beras harus diperketat, dan teknologi seperti QR Code traceability bisa diterapkan, agar konsumen tahu dari mana asal beras yang mereka beli dan bagaimana kualitasnya dijamin.

Petani : korban sistem atau bagian dari solusi ?

Petani memang tidak terlibat langsung dalam penjualan dan distribusi beras sampai ke tangan konsumen. Sehingga kadang beberapa konsumen menyalahkan petani cuma duduk diam saja melihat kasus beras oplosan. Bahkan ada juga yang menduga petani bekerjasama dengan tengkulak dan perusahaan ikut mengoplos beras. Padahal di lapangan setelah petani menjual panen padinya ke tengkulak, petani tak tahu beras akan dijual kemana oleh tengkulak.

Mengapa hal itu terjadi  karena petani kita yang umumnya sudah berusia lanjut tak mempunyai akses pasar karena sudah dikuasai oleh tengkulak. Apa berarti petani tak bisa menjual berasnya sendiri ? bisa kok asalkan pemerintah mendukung petani melalui penguatan koperasi petani. Tak hanya itu, memberikan akses modal supaya petani dapat membeli alat penggiling padi. Sehingga petani bisa menjual beras langsung ke konsumen.

Konsumen juga punya peran

Bila praktik beras oplosan semakin massif, apa konsumen hanya bisa diam ? tidak, konsumen juga bisa ikut andil. Caranya, memperbanyak edukasi tentang "tips membedakan beras premium vs beras oplosan". Tips-tips tersebut bisa dibaca di https://www.lajur.co/4-ciri-beras-oplosan-perhatikan-sebelum-dan-sesudah-membeli/. "Tips membedakan beras asli vs beras palsu (terbuat dari plastik)" juga perlu dipelajari. Tentunya supaya kita menjadi konsumen cerdas dan teliti.

Bila saat berbelanja di pasar atau toko, kita menemui beras oplosan atau beras palsu, kita juga harus berani melapor dan menayakan asal muasal beras tersebut ke pedagang. Konsumen juga harus tak takut melapor ke badan perlindungan konsumen supaya beras tersebut disidak dan ditarik dari pasar. Bila konsumen teliti, cerdasa dan tegas maka produsen dan pedagang yang curang jadi kapok mengoplos kembali.

Solusinya? Sistem pangan yang transparan

Beras oplosan bukan sekedar bentuk kelicikan produsen dan pedagang beras. Namun, kasus ini menjadi cermin dari rusaknya kejujuran dalam sistem pangan kita. Pemerintah melalui lembaga terkait harus hadir bukan hanya sebagai wasit, tapi juga sebagai pelindung produsen dan konsumen kecil. Sehingga sudah waktunya kita membangun tata niaga beras yang:

  • Transparan dari hulu ke hilir
  • Berpihak pada petani dan konsumen
  • Menjadikan mutu sebagai komitmen bukan sekedar label saja

Sebab, kalau beras saja bisa dengan mudah dioplos, lalu, bagaimana kita bisa yakin jika pangan lain aman dari pengoplosan juga ?

Referensi :

Mentan Ungkap 212 Merek Beras Diduga Oplosan, Ini Daftar dan Modusnya. https://www.metrotvnews.com/read/NQACYB7G-mentan-ungkap-212-merek-beras-diduga-oplosan-ini-daftar-dan-modusnya

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun