Di negeri ini ada saja kasus-kasus meresahkan yang bikin pusing. Tak Cuma pusing, tapi bikin was-was karena kasus ini bisa membahayakan kesehatan kita. Salah satunya yaitu maraknya beras oplosan yang dijual bebas di pasar. Dilansir dari situs metrotvnews.com/di hari Senin, 14 Juli 2025, bahwa ada 212 merek beras oplosan.  Di situs  tersebut, Amran Sulaiman, selaku menteri pertanian menyatakan karena kasus ini, negara rugi sekitar 100 triliun.
Contoh masalah pengoplosan beras seperti pemalsuan berat bersih beras yang tertulis di kemasan. Di kemasan tertulis 5 kg tetapi saat ditimbang berat bersihnya hanya 4,5 kg. Tidak hanya itu, di kemasan tertulis "beras kualitas premium" tetapi aslinya berasnya bukan premium. Bayangkan jika harga beras yang katanya premium 5 kg dijual 85 ribu tetapi itu aslinya beras biasa. Apa hal ini tidak merugikan dan menyesatkan konsumen? Â Ya jelas merugikan dan sesat lah.
Saat konferensi pers yang dilansir dari metrotvnews.com, menteri pertanian (mentan) membeberkan beberapa merek dan produsen beras oplosan diantaranya :
- Merek Sania, Sovia, Fortune dan Siip yang diproduksi oleh Wilmar group
- Setra Ramos, Beras Pulen Wangi, Setra Pulen  dan Food Station yang diproduksi Food Station Tjipinang Jaya
- Raja platinum, Raja Ultima diproduksi oleh PT. Belitang Panen Raya
- Ayana diproduksi oleh PT. Sentosa Utama Lestari (JAPFA group)
Pasti di benak kita muncul pertanyaan siapa pelakunya saja padahal seharusnya kita bertanya mengapa praktik seperti ini terus berulang?
Banyak orang buru-buru menodongkan tangan ke pedagang. Padahal sebelum beras sampai ke tangan pedagang, sudah dioplos terlebih dulu oleh produsen. Tidak baik saling menyalahkan, kita harus menyadari bahwa sistem tata niaga beras kita belum sehat, belum transparan dan belum berpihak pada keadilan pangan. Jadi, kita harus mulai menelaahnya dari mana?
Sistem yang mendorong kenakalan
Menurut data Badan Pangan Nasional, fluktuasi harga beras antar daerah bisa mencapai 20--30%. Dalam kondisi seperti ini, motif ekonomi membuat oplosan menjadi "strategi dagang" yang dianggap biasa. Produsen maupun pedagang berbuat curang. Tingkah produsen dan pedagang yang mengoplos beras sangat melanggar UU perlindungan konsumen dan UU pangan.
Sebenarnya pelaku pengoplosan mengalami dilema. Namun, karena dikejar target untung dan , tekanan harga dan persaingan pasar yang tak sehat, jadilah bertingkah demikian. Pengawasan dan kontrol mutu yang lemah mempermudah tindakan pengoplosan menjadi "hal lumrah".
Pengawasan lemah, label tak bermakna
Lemahnya pengawasan dari pemerintah membuat pelanggaran terhadap mutu pangan kerap tak terdeteksi. Sehingga tindakan kecurangan makin kian menjadi. Label "premium" di kemasan beras seharusnya menunjukkan bahwa beras tersebut memiliki kualitas premium bukan abal-abal.